berangkat dari kepedulian, kesungguhan dan tekad dalam Merajut kembali Peradaban Islam di bumi Nusantara memerlukan penyala lentera ...
Senin, 27 Desember 2010
Kamis, 09 Desember 2010
Launching Buku "On Islamic Civilization"
Sebagaimana diketahui UNISSULA bertekad menyiapkan bibit-bibit unggul, generasi terbaik muslim, Generasi Khaira Ummah generasi yang mengabungkan Kecerdasan Intelektual, Spirit Relegiusitas dan Produktivitas.
Dalam agenda besar itulah UNISSULA kemudian mulai melakukan langkah-langkah kecil yang lebih konkret yang bermuara pada agenda ilmu dan amaliah. Pada level gerakan amaliah, pada tahun 2001 UNISSULA mulai mempraktikan kehidupan kampus Islami, yang dikenal dengan strategi Budaya Akademik Islami (BudAi). Pada level penguatan ilmu, secara konsisten UNISSULA telah melakukan rangkaian kajian-kajian peradaban, seminar-seminar, diskusi-diskusi dengan menghadirkan para tokoh, pakar, cendekiawan, dan ulama.
Tak terasa program ini telah berjalan 30 puluh tahun lebih dan telah menghadirkan para tokoh-tokoh, ulama dan cendekiawan untuk memberi warna dalam usaha mencari format peradaban, di antara beberapa tokoh-tokoh tersebut antara lain: Dr. Din Syamsudin, Almarhum Nurcholis Madjid, Sri Sultan Hamengkubuwo X, Dr. Hidayat Nur Wahid, Almarhum Imaduddin Abdul Rahim (Bang Imad), A.M. Saefuddin, Dawan Rahardjo, Mahfudz MD, Ayumardi Azra, Imam Suprayogo, Agung Laksono, Hamid Fahmi Zarkasyi, Syamsuddin Arif, Ugi Suharto, Adnin Armas, Adian Husaini, Mulyadi Kertanegara, Habib Hirzin, A. Malik Fajar dan lain sebagainya.
merangkai ulang “mutiara” yang terserak, dalam satu buah buku berjudul “ON ISLAMIC
CIVILIZATION”, beberapa bagian dalam buku tersebut sudah sempat kami publikasikan dalam
bentuk proseding, yang kami edarkan untuk kalangan sendiri.
Rabu, 08 Desember 2010
THE ISLAMIC GOLDEN RULES
THE ISLAMIC GOLDEN RULES
17 Aturan Emas Meraih Puncak Kesuksesan dan Kejayaan
Oleh:
Prof. Laode M. Kamaluddin Ph.D
& A. Mujib El Shirazy
Prolog
BACALAH DENGAN NAMA TUHANMU YANG MENCIPTAKAN!
“Tulislah apa yang kaubaca, dan bacalah apa yang kautulis. Maka kau akan sukses. Lalu kerjakan apa yang kautulis, dan tulislah apa yang kaukerjakan. Maka kau akan semakin sukses. Sesederhana itulah rumus kesuksesan saya.”
—Prof. Laode M. Kamaluddin, Ph.D.
Pada mulanya manusia hanya berjalan pelan di atas bumi, sementara burung-burung terbang di angkasa. Lalu, manusia menciptakan pesawat yang kemampuan terbangnya melebihi burung yang paling dahsyat, seperti elang atau rajawali. Pada mulanya manusia hanya berdiri di pinggir pantai menatap ikan-ikan yang asing mengarungi samudera. Kemudian, ia pun menciptakan kapal-kapal raksasa yang sanggup membawa dirinya menyelam ke samudera yang paling dalam. Pada mulanya manusia hanya berjalan tertatih-tatih sembari menyaksikan kijang atau rusa yang berlari secepat angin. Lalu, manusia menciptakan mobil yang kecepatannya jauh melampaui hewan-hewan itu.
Atas kehebatan, atau lebih tepatnya, kelebihan yang dimiliknya itulah, manusia kemudian penasaran dan terus mencari tahu; ada apa dengan dirinya? Apa sebenarnya yang menjadi faktor utama yang membedakan dirinya dengan makhluk lain? Apa yang membuat dirinya begitu hebat hingga melampaui makhluk lainnya? Dan kini, jawaban itu telah mereka temukan; sesuatu yang teramat istimewa itu, sesuatu yang membuat dirinya bisa melebihi makhluk lain itu, ternyata bernama “otak” atau “akal”. Akal inilah yang hanya dimiliki manusia, tidak makhluk selainnya. Konon karena itulah muncul pengistilahan manusia sebagai Hayawân Nâthiq (hewan yang berpikir).
Sadar akan kedahsyatan otak yang dimilikinya, beberapa ilmuwan tergoda untuk melakukan kajian yang mendalam. Lalu, Diadakanlah penelitian atas otak. Hasilnya, jauh di luar bayangan. Para pakar menyimpukan bahwa otak yang dimiliki manusia terdiri atas 20 miliaran sel otak yang di dalamnya terdapat neuron-neuron (kelenjar otak yang terkecil. Setiap satu neuron sama kapasitasnya dengan satu itu komputer. Ini berarti, pada setiap otak manusia kapasitasnya sama dengan 20 miliar komputer.
Konon, dari 20 milliar sel otak itu, hanya sekitar 5% saja yang digunakan oleh manusia. Itu pun dengan hitungan manusia itu sangat cerdas. Kalaupun ada manusia yang super cerdas, menurut para pakar, ia hanya menggunakan 6% dari kapasitas otak yang sesungguhnya. Ini berarti, sekitar 94% dari 20 milliar kapasitas otak manusia masih kosong. Subhânallâh, hanya dengan 5-6% saja manusia sudah sampai taraf kecerdasan yang mengagumkan, bagaimana kalau manusia mampu menggunakan kapasitas otaknya sampai 80% atau 90%. Peradaban macam apa yang akan terlahir olehnya.
Semua itu sungguh merupakan sebuah keajaiban yang nyata. Dengan menyimpan potensi yang begitu menggumkan, otak menjadi harta yang tak ternilai harganya bagi manusia. Harta yang memungkinkan manusia menciptakan masa depan yang ‘tak terbatas’, dan memungkinkannya merengkuh apapun yang benar-benar diinginkannya. Tentu atas izin Allah, Tuhan yang mencipta manusia dan otaknya.
Islam sangat menghargai akal manusia. Islam mengajarkan manusia untuk memperdayakan anugerah yang maha dahsyat itu. Di dalam Al-Quran, teramat banyak ayat-ayat yang mengajak manusia untuk berpikir. Bahkan, ayat yang pertama kali turun juga berkenaan dengan persoalan mengfungsikan akal.
Iqra, demikian kata yang terukir indah dalam ayat Al-Quran. Kata yang artinya (Bacalah!). Di sini yang dimaksud dengan aktivas membaca, tidak semata mengeja huruf-huruf yang tertulis. Tapi membaca dalam pengertian yang lebih luas, yaitu kegiatan mendayagunakan otak/akal untuk menangkap makna tersembunyi di balik setiap fenomena yang ada. Dalam sebuah fenomena, sesungguhnya menyimpan ribuan tanda, tanda yang kalau sungguh-sungguh mau direnungkan mengandung muatan lautan kekayaan ilmu pengetahuan.
Dalam kegiatan membaca sendiri, sesungguhnya telah mengandung unsur penyatuan antara yang indera dengan otak. Membaca semata-mata dengan indera, hanya akan mengantarkan kita pada pengetahuan-pengetahuan yang semu. Mata kita memandang bahwa matahari seolah bergerak mengelilingi bumi ini, setiap hari kita melihat matahari terbit dari arah timur, lalu sore harinya tenggelam di ufuk barat. Kenyataannya tidaklah demikian. Bukan matahari yang mengelilingi bumi, tapi bumilah yang mengelilingi matahari.
Ketika kita menaiki kereta api, mata kita melihat seolah-olah pohon-pohon, rumah-rumah, juga pagar yang berada di sisi rel itu begerak dengan cepat ke belakang kita. Padahal bukan pohon yang berjalan, tapi kereta yang kita tumpangilah yang berjalan. Mata kita melihat gunung di kejauhan nampak kecil, matahari pun begitu, bahkan ketika kita mengukurnya, matahari, gunung-gunung tak lebih besar dari ibu jari kita. Padahal kenyatannya tidaklah begitu. Kenyataan-kenyataan ini mengajarkan kepada kita bahwa, memandang semata-mata dengan mata, hanya akan menghasilkan pengertian yang keliru. Dan kita mengerti semua itu dengan perantara otak kita.
Otak juga mengajarkan perasaan malu pada manusia. Ia menjadi semacam kendali yang mengarahkan manusia menempuh jalan kebenaran. Dan mencegah manusia berbuat keliru. Hal demikian tentu menjadi sesuatu yang membedakan antara dirinya dengan hewan. Seekor ayam tidak akan malu menyetubuhi pasangannya di depan umum. Ia juga tidak malu menyetubuhi ibunya (ayam yang melahirkan dirinya). Tapi manusia, dengan otak warasnya tak akan mungkin melakukan yang demikian. Kambing akan memakan daun manapun yang ia anggap segar, tanpa terlebih dahulu bertanya, siapa pemilik daun itu dan memohon ijin. Sedangkan manusia tidaklah demikian. Seekor kucing akan kencing di sembarang tempat, namun tidaklah dengan manusia.
Otak membimbing manusia untuk bertindak secara benar. Otak mengajarkan tidaklah benar menggauli pasangannya di sembarang tempat. Sama tidak benarnya menggauli ibu kandung yang telah melahirkannya. Otak mengajarkan untuk tidak sembarang mengambil barang yang tidak ia miliki, begitu juga untuk tidak sembarangan membuang kotoran.
Begitu otak/akal manusia diambil dari manusia, manusia akan kehilangan kontrol, dan mulai berperilaku sesuka hati, tanpa etika, aturan juga rasa malu. Begitu otak/akal diambil Allah dari manusia, maka manusia itu tak ubahnya berperilaku seperti binatang/hewan. Orang-orang gila di jalanan, orang yang telah kehilangan akalnya, tidak lagi bisa membedakan mana yang benar dan mana yang tidak. Dan mereka pun berperilaku sesuka hati. Mereka makan di tempat sampah, berjalan telanjang, dan berkata-kata tanpa makna. Mereka meracau sendiri.
Otak selain menjadi kendali, juga memiliki kecondongan untuk berpikir kreatif. Kreativitas itu yang membuat manusia berkembang dari waktu ke waktu. Segala hal yang nampak, ia hubung-hubungkan antara satu dengan yang lainnya, lalu darinya lahirlah ide-ide segar. Ide-ide yang baru.
Ketika mata memandang adanya burung yang terbang. Otak pun bekerja. Otak pun mulai bertanya mengapa burung bisa terbang dan manusia tidak. Lalu ia melihat perbedaan yang mencolok antara burung dan manusia, yaitu sayap. Tak mau berhenti di situ. Otak pun bekerja lagi, bagaimana jika manusia juga mengusahakan sayap. Inilah yang dicoba oleh Wright bersaudara. Seseorang yang kelak dikenal dalam sejarah sebagai penggagas pesawat terbang.
Demikianlah, analogi-analogi kecil betapa istimewanya otak manusia itu. Namun begitu, kita tidak boleh sepenuhnya mengandalkan otak. Allah mengingatkan kita, agar senantiasa menyelubunginya dengan nur keimanan. Tatkala kita mendayagunakan otak kita, maka Allah memerintahkan. “Bacalah dengan nama Tuhanmu”. Bacalah dengan ruh ke-Tuhan-an.
Mengapa? Karena seperti kekuatan-kekuatan lain, pesona akal juga menyimpan energi yang mengerikan. Akal sebagai sebuah alat, tak ubahnya sebuah pisau. Di tangan koki yang andal, pisau menjadi bagian penting untuk melahirkan mahakarya dari setiap makanan yang mereka sajikan. Namun, di tangan seorang pembunuh, pisau menjadi media ampuh untuk menebar teror dan kematian. Dan begitulah, tanpa balut keimanan, otak justru menjadi media, atau tepatnya ‘alat’, yang menikam kemanusiaan, media/alat yang menjauhkan manusia dari kebahagiaan yang mereka idam-idamkan.
Ingatkah kita akan peristiwa pemboman tentara sekutu atas Jepang dengan menjatuhkan bom atom di kota Hirosima dan Nagasaki. Hanya dalam hitungan beberapa detik saja, seluruh isu kota hancur porak poranda, ribuan mayat bergelimpangan. Bagaimana dengan pemboman gedung WTC beberapa tahun yang lalu? Sungguh, dalam dua tragedi yang mahadahsyat itu, pengetahuan memiliki andil yang teramat signifikan. Kecerdasan manusialah yang menciptakan teknologi pembunuh yang super kejam, seperti bom atom, zat kimia beracun, atau bom nuklir. Sesuatu yang pada akhirnya, menjadi ancaman besar bagi kehidupan manusia itu sendiri.
Melihat kenyataan pahit ini para ilmuwan Barat mulai bersikap pesimis atas kemajuan peradaban, tak sedikt pula yang berputus asa. Giddens, seorang sosiolog kenaman Inggris, pernah dengan pesimis mengungkapkan kecemasannya atas kemajuan ilmu pengetahuan. Katanya, hari ini, jika ada orang iseng menekan satu tombol saja di pusat peluncuran nuklir maka kita seluruh penduduk akan musnah begitu saja.
Demikianlah, otak dan segala kemajuan yang dibawanya, nyatanya tak selalu memberikan kemanfaatan bagi umat manusia. Seperti sebilah pisau, apa yang dihasilkan otak bisa juga menjadi sesuatu yang membahayakan.
Ratusan tahun silam. Allah Ta’ala melalui salah satu firman-Nya telah memperingatkan kepada kita, “Pernahkah kamu menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhan-Nya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapa yang akan memberikan petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (QS. Al-Jatsiyah: 23).
Bagaimana menfungsikan otak agar selalu memiliki implikasi kemasalahatan. Tuhan pun telah memberikan isyarat yang sangat gamblang. “Bacalah dengan nama Tuhanmu”. Karena hanya dengan landasan ketakwaan dan kesucian niatlah, kegiatan berpikir kita bisa berfaedah tidak hanya di dunia, tapi juga di akhirat kelak.
Nah, dalam ranah dan kerangka pikir demikianlah, buku ini kami tulis. Dengan sejumput harapan agar kita sama-sama membaca ayat-ayat Allah, baik yang tersurat maupun tersirat, dengan niat kesucian dan dalam rangka menuju ketakwaan.
Ya, melalui buku ini, kami mengajak Anda semua untuk membaca—membaca apa saja—dengan cara disertai “nama Tuhanmu Yang Menciptakan.” Persis, sebagaimana tertuang dalam firman Allah QS Al-‘Alaq di atas. Sebab, hanya dengan “cara membaca” seperti itulah insyâ Allâh masa depan emas akan terwujud. Mengapa? Lantaran “cara membaca” seperti itu, sesungguhnya bagi kami merupakan “ruh” dari aturan emas (golden rule) dalam meraih puncak kesuksesan dan kejayaan, yang kami tuangkan dalam buku kecil nan sederhana ini.
Akhir kalam, semoga Allah mencatat usaha kecil kami ini sebagai ladang amal bagi kami di dunia dan di akhirat nanti. Dan semoga Allah menghindarkan diri dan hati kami dari tujuan yang keliru, yaitu tujuan yang tidak dilandasi atas niat karena Allah semata. Amin.
Salam takzim kami,
Laode Masihu Kamaluddin, Prof. Ph.D.
Ahmad Mujib El Shirazy, M.A.
(ed:maruf)
Langganan:
Postingan (Atom)