Oleh: Prof. Dr. Taufik Abdullah
Pendahuluan
Dalam kesempatan ini izinkanlah saya mengucapkan penyesalan yang sedalam-dalamnya karena harus saya akui tidak banyak yang akan bisa sampaikan. Pertama, saya yakin para pemakalah tentu telah mempersiapkan para saksi sejarah yang hadir disini tentu akan bisa membangkitkan suasana kesezamanan dengan episode sejarah yang kini kita bicarakan. Mereka, para saksi sejarah itu, mungkin saja bisa lupa dengan tanggal peristiwa yang mereka ceritakan tetapi mereka selalu bisa memberikan suasana hati dari peritiwa atau kejadian yang mereka paparkan. Tentu saja mereka tidak sekedar bisa mengisi lobang-lobang informasi yang terdapat dalam sumber-sumber tertulis. Tidak jarang mereka bisa juga memberikan koreksi dalam unsur-unsur sejarah tentang “apa, siapa, bila dan dimana”. Akhirnya apalagi yang kita harapkan kalau bukan refleksi dan renungan tentang peristiwa yang telah lewat itu. Jadi, apa lagi yang diharapkan dari saya?
Karna itu janganlah heran, kalau reaksi awal saya menolak waktu diminta untuk tampil hari ini, tetapi karena justru sangat menghargainya. Saya ragu apakah saya bisa memberikan sumbangan yang berharga. Tetapi setelah didesak juga, saya pikir-pikir bukankah panitia sudah memberikan kehormatan pada saya? Maka dengan segala kerendahan hati, izinkanlah saya ikut serta memberikan perenungan sejarah, meskipun tidak terlalu mendalam, tentang Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Kalau sekiranya seminar ini diadakan pada tanggal 13 juli, maka berarti kita memperingati 53 tahun penyerahan mandat PDRI kepada Presiden dan Wakil Presiden, yang diadakan dalam sebuah sidang kabinet marathon, di Yoyakarta.
Berbicara tentang penyerahan mandat itu, saya menjadi teringat pada sebuah kalimat dari buku T.B. Simatupang yang diterbitkan pertama kali dua-tiga tahun setelah ia dibebas tugaskan sebagai KSAP – dan sekaligus menjadikannya jenderal pensiunan yang termuda – laporan dari bonaran setelah “Yogyakarta Kembali” sebuah ungkapan yang menyatakan kembalinya Yogyakarta ke dalam kepangkuan R.I—maka kini, tulisan Simatupang, “Yogyakarta menanti kedatangan Sudirman dan Sjafruddin”. Memang kedatang kedua pemimpin ini dianggap oleh para pemimpin nasional yang telah berada di Yogyakarta sagat crusial. Bukan saja bagi kelanjutan proses perjuangan, tetapi bahkan juga bagi keutuhan R.I. bukankah kedua mereka yang memimpin perjuangan, bahkab negara, ketika Soekarno dan Hatta telah ditawan Belanda? Dan, sekarang “yogya telah kembali”, tetapi bukan karna keputusan mereka. “Yogya kembali” adalah hasil perundingan antara belanda dan utusan yang diangkat oleh para pejabat yang secara formal tidak lagi “berkuasa”. Soekarno-Hatta, Presiden dan Wakil Presiden yang tertwan, memberi mandat kepada M. Roem yang berunding dengan Belanda. Padahal bukankah Ketua PDRI, Sjafruddin Prawiranegara, yang secara konstitusioanal berhak memberi mandat itu. Bukankan kepadanya Presiden dan Wakil Presiden/Perdana Menteri memberi mandat untuk memimpin pemerintahan R.I. sebelum mereka ditawan? Di samping itu, semua pun juga tahu bahwa baik Sjafruddin, maupun Sudirman, Panglima Besar yang memimpin perang gerilya, tidak setuju bukan saja dengan “statemen Roem-Royem”. Tetapi juga dengan ide perundingan itu sendiri. Apalagi bagi Sjafruddin, perundingan itu cacat secara hukum. Perundingan atas wibawa Soekarno-Hatta, bukan atas legitimasi kekuasaan yang sah.
Tetapi keduanya datang juga. Betapa pun pahit yang dirasakan Sjafruddin dan Sudirman, mereka datang juga. Mereka memilih nilai yang lebih tinggi, yaitu perjuangan bersama yang harus dimenangkan. Mereka memilih kembali, demi keutuhan perjuangan. Maka begitulah akhirnya, pada tangal 13 juli 1949, secara resmi Ketua PDRI menyerahkan mandat kepada kedua pemimpin bangsa.
Sekarang saya teringat pada dua foto bersejarah. Yang satu sangat mengharukan dan yang lainnya sangat melegakan. Foto yang pertama memperlihatkan Sudirman yang sakit dengan mantel yang lusuh berpelukan dengan Soekarno yang berbaju necis, tetapi dengan wajah yang keharuan. Foto ini ambil ketika Sudirman baru saja memasuki Yogyakarta setelah ditandu sekian hari dengan jalan kaki, langsung ke istana, bertemu dengan Presiden, yang menyambutnya dengan rasa haru. Foto kedua lebih santai, tetapi memantulkan keakraban. Sjafruddin dengan anak yang masih belita duduk bersama Soekarno dan Hatta. Mereka tak ubahnya saudara sekandung yang lama tak bertemu. Secara simbolik kedua foto itu saya anggap sangat berharga. Bukankah-- bak kata orang—sebuah foto berbicra seribu kata? Sebuah foto pun bisa memberi pantulan yang jauh melebihi moment apname. Maka, begitulah bagi saya kedua foto seakan-akan ingin mengatakan bahwa setelah perdebatan yang melibatkan kekuasaan dan etis teratasi, tidak ada yang lebih berharga selain persahabatan dan saling percaya. Setelah segala dilema-dilema etis yang sama-sama dihamparkan kepermukaan tidak ada yang lebih berharga selai dari pada commitment pada perjuangan bangsa yang harus dimenangkan.
Sejak saya membaca kisah penyerahan mandat PDRI saya tidak pernah melupakan kata-kata yang disampaikan Sjafruddin “PDRI”, katanya, “tidak mempunyai pendapat tentang ‘pernyataan Roem-van Royem’, tetapi segala akibat yang ditimbulkannya kita tanggung bersama:. (sayang baik Mestika Zed maupun Ajip Rosidi tidak mengutip kata-kata ini dalam buku mereka). Dari kalimat yang pendek dan sederhana ini Ketua PDRI ini bukan saja telah merumuskan hasil putusan anggota PDRI, tetapi juga memperlihatkan dengan sangat jelas corak pilihan yang diambil setelah suasan dilematis teratasi.
Pembentukan PDRI, “Roem-Royem Statement” dan “Yogya kembali” mungkin hanyalah unsur-unsur saja dalam rekontruksi sejarah tentang saat-saat terkhir ‘revolusi kemerdekaan’ tetapi bagi saya tentang peristiwa ini adalah pula sebuah sejarah tentang “the ethics of power” bukankan masalah etik baru muncul ketika kita telah berhadapan dengan penentu hirarki dari nilai-nilai ketika situasi yang dilematis dihadapi? Baik dan buruk adalah masalah moral yang universal---menganiaya orang disana atau di sini, dulu atau sekarang, tetapi dianggap perbuatan buruk, atau menolong orang yang sengsara di sana atau di sini, dulu atau sekarang, bahkan nanti, akan tetap diangap secara moral yang baik. Tetapi etika bertolak dari teori dan filsafat tentang baik dan buruk dan mendapatkan faktualitasnya ketika situasi dilematis dihadapi. Manakan yang dipilih antara dua hal yang sangat baik? Atau sama buruk? Ukuran apakah yang dipakai ketika pilihan harus dibuat? Buah simalakama, sebagaimana orang tua-tua menyebutnya, adalah contoh dari dilematis etis yang murni. Etika juga baru menjadi problematika ketika hirarki nilai harus ditentukan. Perbuatan manakah yang harus disebut “kewajiban” dimana pula “kebijakan” (virtue). Bisakah virtue mengalahkan kewajiban?. Dan, kalau demikian halnya dalam saat seperti apa pula?.
Sejarah kini bisa mencatat bahwa pembentukan PDRI telah lama direncanakan—seandainya pemerintah RI di Yoyakarta terancam, maka PDRI harus berdiri di Sumatra. Jadi tak ada masalah, karena itulah Sjafruddin, yang menjabat Menteri Kemakmuran dalam kabinet Presidensial, diajak Bung Hatta ke Bukittingi, untuk bersama-sama mempersiapkan kemungkinan yang jelek ini. Tetapi jalan perundingan yang sedang kritis menyebabkan Hatta harus kembali ke Yoyakrta. Tinggalah Sjafruddin mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan. Tetapi serangan Belanda datang, sebelum segala sesuatu selesai. Skenario yang menentukan Hatta memimpin di Bukittingi dan Soekarno ke India dan memperjuangkan Indonesia di luar negeri jadi berantakan. Yogya diduduki Belanda dan menyusul di Bukittingi. Mestikah PDRI didirikan pada waktu itu? PDRI tidaklah otomatis berdiri. Sebuah pergulatan dan etis terjadi. Pergulatan tentang kepantasan dan keharusan dan tentang etik kekuasaan, muncul dengan begitu saja. Mestikan PDRI didirikan begitu saja, sedangkan nasib presiden dan Wakil Presiden belum diketahui? Kalau didirikan, sedangkan kedua pemipin Negara yang tertinggi itu masih bisa aktif, bukankah hal ini coup detat? Tetap ternyata mereka ditawan, sedangkan PDRI belum juga berdiri, bukankan ini terjadi kekosongan kekuasaan? Hal ini berarti Republik Indonesia secara teoretis ceased to exsist, tak lagi berdiri. Manakah yang harus dipilih? Ketika putusan akhir harus dibuat, dengan sadar para pendiri itu menyebut diri mereka pemerintah darurat, emergency government, yang sewaktu-waktu, jika saatnya sampai akan mengembalikan kekuasaan kepada yang secara konstitusional berhak. Bagaimana selanjutnya, biarlah para pemakalah bercerita tentang berbagai aspek sejarah PDRI.
Apa yang akan dikatakan tentang kehebatan perang gerilya, kemenangan RI juga sangat ditentuka oleh pergulatan yang terjadi di meja perundingan. Bagaimanapun harus diakaui juga bahwa PBB iku mamainkan peranan dalam proses dekolonisasi Indonesia. Dewan Keamanan dari badan dunia inilah menuntut Belanda agar segera kembali memulai perundingan dengan RI. Ketika pemerintah telah diharuskan untuk memenuhi desakan ini, tentulah dengan mudah saja Belanda dan PBB dapat menghubungi Soekarno dan Hatta. Sebab bukankah mereka berda dalam ttawanan. Maka timbul juga pertanyan, apakah Soekarno dan Hatta, yang sebelum ditawan sempat mengirim radiogram yang memberi mandate kepada Sjafruddin dan (Maramis, yang berda di India, kalau Sjafruddin gagal), telah dengan begitu saja tergiur oleh kekuasaan yang kembali bakal didapatkan sehingga dengan begitu saja menyetujui usulan PBB untuk melanjutkan perundingan denga Belanda ? mungkin juga, tetapi mungkin juga mereka lebih dahulu harus menghadapi situasi dilematis. Biografi Soedarpo, yang baru saja diedarkan menjelaskan bahwa ia dengan sengaja di utus dari New York, untuk menjelaskan kepada mereka yang ditawan di Bangka, bahkan negara-negara barat hanya mengenal Soekarno-Hatta. Terutama delegasi Inggris tak bisa melupakan wibawa Soekarno ketika ia berhasil menghentikan pertempuran Surabaya di akhir Oktober, 1945 dan menyelamatkan pasukan sekutu dari kehancuran. Soedarpo menjelaskan suasana dilematis yang dihadapi Soekarno-Hatta. Semestinya semua ditentukan Sjafruddin, tetapi dimanakah dia? Sebaliknya kalau momen ini dibiarkan lewat begitu saja, tanpa keputusan pasti, siapa tahu pula simpati masyarakat dunia membaik kepada Belanda. Ditengah suasana yang dilemtis ini, putusan harus dibuat. Dan Roem juga seorang menteri yang tertawan diperintahkan untuk berunding. Tetapi Roem, seperti juga Natsir, tak bisa pula membebaskan diri dari sitiasi dilematis ini. Hatta mencari Sjafruddin ke Aceh tetapi ia entah dimana?
Ketika putusan itu telah dibuat dan perundingan yang dialukan pejuang mana yang tak merasa dikhianati? Bagaimanapun juga PDRI dan TNI, yang dipimpin Sudirman, mersa telah dilangkahi begitu saja oleh mereka “yang tertawan di Bangka”. Bukan itu saja, bahkan “pernyataan Roem-Royem” itu mereka anggap merugikan R.I., karena Roem dan para penasehatnya, tidak mengetahui dengan baik kekuatan R.I., yang bergerilya. Tetapi ketika perasaan tersingung sudah terjadi, pertanyaan dilematis pun tak terelakan. Mestikah mereka terima kenyatan itu, padahal secara etis dan konstitusional azas kepatuhan telah dilanggar oleh Soekarno-Hatta, dua pemimpin nasional yang tetap diakui. Tetapi mestikah mereka tolak pada hal kesemuanya terjadi bukanlah kerna dorongan kekuasaan, tetapi demi kemerdekaan bangsa? Bagaimanakah jadinya, tanya Sjafruddin dalam perundingan para utusan Hatta, dibawah pimpinan natsir, yang berhasil menemui PDRI di padang Japang, Sumatra Barat, “kalau ada pilihan antara Soekarno-Hatta dan Sjafruddin-Rasyid?”. Rasyid adalah Menteri dan Gubernur Militer Sumatra Tengah yang sangat keras menetang pernyataa Roem-Royen.
Agak panjang mungkin saya bercerita tentang masa akhir. PDRI ini. Tetapi memang episode ini adalah salah satu contoh yang otentik dari sejarah tanah air kita, ketika politik dan kekuasaan masih dianggap, sebagaimana pernah dikatakan Sjahrir dalam Renungan Indonesia-nya, “sebuah panggilan”. Haji Agus Salim the Grand Old man of the Republic, tentu menyebut semua ini sebagai lilahi ta’ala. Uraian sejarah yang memantulkan dilemma etis bagi saya sekarang makin keras berbunyi. Kadang-kadang saya bertanya juga mengapa di waktu revolusi dulu etik dan moralitas politik bisa sangat kuat membayangi perilaku politik para pemimpin kita dan mengapa di saat reformasi yang ingin menyeluruh itu. Semuanya telah menjadi hal yang sedemikian langka. For better or worse saya terlanjur mempelajari sejarah dan karna itu tertentu terlanjur juga membanding dulu dan sekarang. Maka mudah-mudahan saya tidak dikatakan sebagai seorang yang mabuk nostalgia, kalau saya dengan berat hati harus mengatakan juga bahwa perdebatan politik dan bahkan persaingan politik yang dulu juga sering terjadi, jika dibandingkan dengan sekarang, lebih bermutu. Mereka berdebat dan bersaingan with style, bukan dengan mengobral kata-kata pasaran yang malah semakin menyebabkan masyarakat semakin jauh terpuruk pada apa yang pernah saya sebut sebagai “spiral kebodohan yang menukik ke bawah”. Sebuah ucapan bodoh ditangapi dengan lebih bodoh lagi dan begitu juga seterusnya, maka krisis pun makin mendalam juga. Tiba-tiba yang kita temukan bukan lagi “kebijakan”, virtue. Bahkan bukan lagi kewajiban, duty tetapi hal lain yang entah apa namanya.
Kembali saya teringat kepada dua foto yang cerita diatas. Keduanya memancarkan suasana bahwa setelah segala situasi dilematis teratasi rasa saling percaya dipupuk kembali. Maka, maafkanlah saya kalau saya masih saja saling percaya menyesalkan tentang masih berlanjutnya apa yang sejak terjadinya lengser keprabon presiden Soeharto saya sebut sebagai the crisis of mutual trust di antara para elit politik—mereka yang dulu, telah lama benar rasanya—biasa kita sebut sebagai “pemimpin nasional”.
Mungkin ucapan sinis Voltaire, sang filsof sinis yang konon secar intelektual ikut mematangkan suasana bagi meletusnya Revolusi Perancis, benar juga mengatakan, bahwa “satu-satunya pelajaran yang didapat dari sejarah ialah orang tak pernah belajar dari sejarah”. Hanya saja masa akhir dari PDRI tidak sekedar memberi pelajaran yang bisa digali dari pengalaman masa lalu, tetapi contoh dari apa yang bisa disebut sebagai alesson on the ethics of power. Bagaimanakah harus berbuat ketika dilema antara panggilan kekuasaan dan keharusan moral telah datang? Maka dalam hal ini ucapan Bismarck. Kanselir Prussia, yang berjasa mempersatukan Jerman, baik juga dipakai sebagai bahan renungan, “orang-orang pandai”, kata Bismarck, “mengatakan bahwa mereka belajar dari pengalaman, saya lebih suka belajar dari pengalaman orang lain”. Atau, dengan kata lain, mengapa tidak belajar dari sejarah.
Coba bayangkan apakah yang akan terjadi kalau saja Sudirman dan Sjafruddin sepakat untuk menolak Pernyataan Roem-Royem”? bukankan mereka berda di pihak yang benar? Sebab merekalah yang menjaga eksistensi R.I. bagi Sudirman hal ini mungkin semakin pahit juga dirasakan, sebab ia telah memberikan kesetiannya kepada Sjafruddin, ketika ketua PDRI ini menolak keinginan Sudirman untuk menjadi penentu kebijaksanaan di Jawa. Sekarang kesetiannya itu diuji lagi. Apakah ia harus meninggalkan Sjafruddin pada hal ia telah mengakui kepemimpinan ketua PDRI ini? Perlawanan mereka juga adil, sebab bukankan PDRI yang mempunyai mandat? Tetapi apakah “benar” dan “adil” telah memadai? Bagaimana kalau mereka paksakan keduanya? Saya tak bisa membayangkan”, kata dokter Halim kepada Sjafruddin ketika mereka bersama yang lain, mandi di pancuran dekat Padang Japang, setelah semalaman berdebat, “bagaimana jadinya nanti kalau kamu tidak ke Yogya”. Memang siapa yang bisa membayangkan apa yang akan terjadi? Begitulah pengalaman masa akhir PDRI mengajarkan juga kepada kita bahwa “benar” dan “adil” belum menyelesaikan masalah kalau tidak didampingi oleh “kearifan”.
“Kearifan” sesungguhnya bukan sekedar “kebijakan”, tetapi adalah “kewajiban”. Landasannya bukan saja terletak pada keadilan dan kebenaran yang telah inheren dalam dirinya, tetapi juga terletak pada kemampuan untuk memahami bentuk dan landasan kebenaran dan keadilan yang dipunyai pihak lain. Kearifan adalah pula kesanggupan untuk meletakkan sesuatu dalam konteks yang sesuai dengan kesediaan mewujudkannya dalam tahap waktu yang telah diperhitungkan.
Siapakah kini yang tak merasakan betapa semakin langkanya “kearifan” itu berada di tengah-tengah kita? Semua atau sebagian besar mereka yang kini kita sebut “elite politik”, sibuk dengan “kebenaran” dan “keadilan” dari sudut mereka, tetapi melupakan nilai yang bisa merangkul keduanya, yaitu “kearifan”. Siapakah lagi yang akan bisa dipakai sebagai bahan perbandingan, jika bukan sebagai contoh? Ketika sikap yang makin melupakan kearifan ini telah menjalar ke bawah apalagi yang terjadi kalau bukan perilaku yang bercorak vigilante-isme dan tribalistk? Meskipun dengan memakai istilah disuci-sucikan namun perilaku tribalistik sering juga mencuat keluar, terutama kalau berhadapan dengan masalah kepemimpinan . meskipun berlagak demi kebaikan, namun kelakukan vigilante mendatangkan malapetaka social yang mengenaskan juga. Karna yakin telah berbuat adil, tempat yang dinilai tempat maksiat, dimusnahkan tanpa ampun. Karena buku tertentu telah melanggar nilai-nilai yang dihormati, maka toko buku yang di sweeping dan buku di bakar. Kita menjadi bertanya-tanya barangkali sekian lama berada di bawah kekuasaan yang otoriter telah menyebabkan masyarakat kita kehilangan kepekaan akan pentingnya kearifan, yang harus digandengkan dengan kebenaran dan keadilan.
Sejarah sebagai ingatan kolektif
Barulah tahun 1989 “sejarah PDRI”, dengan izin khusus dari Presiden Suharto, boleh dibicarakan kembali. Bahkan masih segar dalam ingatan saya kedongkolan menteri Emil Salim, karena sampai saat tekhir surat izin untuk mengadakan seminar itu masih belum juga dikeluarkan. Tetapi sudahlah, bukankan masa lalu itu, kata orang ilmuwan “negeri asing tempat orang berbuat yang aneh-aneh”? mungkin sebuah ironi bahwa peristiwa yang masih menjadi bagian dari “ingatan kolektif” itu seakan-akan telah terhapus dari catatan sejarah. Barangkali tidak terlalu sukar untuk memahami mengapa Sriwijaya, yang konon merupakan kerajaan maritim Nusantara yang terbesar sebelum Majapahit, baru di tahun diketahui lagi keberadaannya di tahun 1913. Masa ratusan tahun tanpa dukungan tradisi tulisan yang telah menyebar memang bisa juga mengubur segala sesuatu kedalam amnesia kultural dan sosial. Kalau akhir sejarah Sriwijaya diketahui juga, maka kitapun bisa berkata, mengikuti kategori Bernard Lewis, inilah salah satu dari discovered history. Tetapi PDRI? Seluruhnya sangat utuh berada dalam kategori remembered history. Hanya saja proses pelupaan sejarah dijalankan ketika ingatan kolektif tentang sejarah revolusi nasional ingin direkam.
Untuk jalasnya baiklah saya akan bercerita sedikit tentang masalah histobiografi kita. Tentu apa yang akan saya katakana tidak terlalu aneh bagi mereka yang sempat mengamati sejarah dari penulisan sejarah tanah air kita. Begini, kalau diingat-ingat barulah setelah kedaulatan dihadapkan oleh negara kita yang masih muda—jadi pada tahun 1950—para cendekiawan kita merasakan ada sesuatu yang kurang dalam perbendaharaan intelektual bangsa kita, yaitu bangsa kita “tidak mempunyai sejarah”. Dari sudut pengertian sejarah sebagai hasil rekonstruksi yang kritis maka yang kita punyai hanyalah sejarah kolonial-- yaitu sejarah yang bertolak keprihatian dan perspektif kolonial. Lainnya, hanya cerita-cerita dan legenda dan mitos, yang mungkin benar-benar terjadi, meskipun tidak murni lagi, tetapi mungkin pula hanyalah cultural concern yang diuraikan dalam bentuk kisah-kisah yang bisa disebut kalau menurut bahasa digital sekarang—virtual history. Jadi pendapat yang mengatakan bahwa salah satu kejahatan kolonialisme ialah memisahkan rakyat yang terjajah dari sejarahnya, tampaknya tak jauh meleset dari kenyataan yang sesunguhnya. Karna itu masuk akal juga kalau sejak tahun 1950 itu ada usaha untuk menemukan kembali sejarah yang hilang atau, dengan istilah yang kini dikenal, mendapatkan sejarah nasional. Tetapi bagaimana caranya? Jalan pintas yang segera kelihatan dalam buku pelajaran inilah membalik saja dasar moralnya—yang dulu dikatakan oleh sejarah kolonial “baik”. Kini kita katakan “jelek” dan sebaliknya. Maka Jan Pieter Zoo Coen tidak lagi “pahlawan”, tetapi “penguasa kolonial yang jahat” dan diponegoro bukan lagi “pemberontak”, tetapi “pahlawan kemerdekaan”. Dan begitulah seterusnya. Tetapi dalam waktu yang singkat jalan pintas ini harus ditinggalkan, sebab bukankan ini hanya memperpanjang ketergantungan kepada warisan kolonial? Maka kesadaran akan pentingnya peralihan perspektif sejarah pun mulai dirasakan. Dalam suasana ini sejarah revolusi belum merupakan bagian dalam pergolakan ilmu sejarah. Revolusi masih diperlukan sebagai pengalaman romantis, yang lebih banyak diungkapkan dalam sastra, lagu dan musik, dan film. Revolusi adalah pengalaman batin, belum dirasakan sebagai pengalaman empiric yang harus direkonstruksi.
Masalahnya baru datang ketika revolusi tidak lagi diperlakukan hanya pengalaman romantic dan heroic dimasa lalu, tetapi sebagai sebuah suasana yang harus selalu dihirupi. Masalahnya menjadi berbeda dalam ingatan kolektif, tetapi sebagai sesuatu episode yang terus berlanjut. Indonesia secara konseptual telah berada dalam suasana “revolusi multi-kompleks”, dibawah pimpinan Pemimpi Besar Revolusi. Ketika inilah pengalaman empirik dalam revolusi nasional, yang disebut sebagai “revolusi fisik”, bukan saja ingin diceritakan, tetapi juga—dan lebih penting—telah dijadikan sebagai sebuah wilayah persaingan, a field of contestation. Ketika ini pulalah strategi bagi terwujudnya “pengentalan ingatan” dan “pelupaan” dijalankan. Kalau telah begini, siapakan yang akan diuntungkan seandainya ingatan tentang PDRI dipelihara dan siapa pulakan yang akan dirugikan? Peristiwa sejarah—terpaksa diakui juga— bukan saja hasil dari proses pemilihan—tidak semua kejadian dimasukkan kedalam kategori “peristiwa sejarah” – tetapi juga mempunyai kemungkinan untuk memantulkan berbagai corak rangsangan emosional dan intelektual. Mungkin sudah takdir, sebab kita ini pulalah beberapa orang tokoh terkemuka PDRI, seperti Sjafruddin dan beberapa orang tokoh militer di Sumatra, telah berada pada posisi yang berseberangan secara ekstrim dengan Pemimpin Besar Revolusi. Maka proses pelupaan tentang hal-hal yang sebaiknya diingat-ingat dan dikenang-kenang serta dibanggakan oleh sisten kekuasaan berjalan lancar dan tegar. Barangkali tidak umum dirasakan, tetapi memang sesungguhnya usaha penguasaan ingatan kolektif dan sejarah oleh sistem kekuasaaan barulah dilancarkan sejak masa demokrasi terpimpin dan mulai saat itu jalan kembali telah tertutup. Penguasaan ingatan kolektif oleh kekuasaan baru berakhir dengan jatuhnya Orde Baru.
Mungkin sudah takdir atau barangkali salah suratan nasib saja kalau sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 diterapkan sampai dengan lengser keprabon tanggal 21 Mei 1998 Indonesia berturut-turut berada di bawah kekuasaan dua negara serakah (greedy states) yang tidak puas dengan penguasaan politik dan ekonomi. Dengan berbagai cara negara serakah ini inginmenguasai kesadaran individu dan mendominasi ingatan kolektif bangsa. Negara berhasil menampilkan dirinya sebagai pemegang the hegemony of meaning, penguasa makna dan wacana, dan pengemban the mastery of collective memory. Maka, kemudian, ketika Orde Baru telah berkuasa kitapun sibuk mengingat dan memperbesar makna penyerbuan Yogyakarta pada tanggal 1 Maret – peristiwa yang disebut Janur kuning—atau Supersemar. Bukankah pada kedua peristiwa itu sang penguasa Orde Baru bisa tampil sebagai hero? Tetapi sementara mengingat dan membesarkan peristiwa tertentu, kita dibuai untuk apa dengan sebuah episode yang bisa memperlihatkan betapa ketelepasan dari dilema etis mengenai kekuasaan, sebuah kontinuitas dari keberadaan negara yang diprokalamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, bisa terjaga. Episode PDRI tidak ditemukan dalam buku teks sejarah.
Jika dikaji hubungan antara kekuasaan dan sejarah, apa yang dilakukan oleh kedua negara serakah itu sesungguhnya merupakan hal yang biasa saja. Di manapun juga dan kapanpu juga penguasaan akan ingatan kolektif biaya diusahakan oleh pemegang kekuasaan. Kalaupun usaha penguasaan itu dianggap sebuah kejahatan maka terpaksa diakui juga bahwa kejahatan itu adalah hal yang paling lumrah dilakukan oleh setiap kekuasaan yang otoriter dan sentralistis. Tetapi kalau saja kearifan sejarah (historical wisdom) bisa dipakai, barangkali tak salah kalau kita mengurut dada sambil menghela nafas panjang. Betapa besar kerugian yang didapatkan dengan melupakan PDRI. Koni, dengan keuntungan sebuah hindsight, barangkali saya tidak salah kalau saya katakan, bahwa episode PDRI bisa dilihat sebagai sebuah “ laboratorium sejarah” untuk mempelajari dengan baik apa jadinya dengan negeri ini ketika hamper seluruh sistem kepemimpinan puncak telah dilumpuhkan dan kota-kota di semua daerah, kecuali Aceh, telah diduduki musuh. Baiklah, jawabannya sederhana saja—Republik Indonesia survived, berhasil melanjutkan kehidupannya, meskipun telah dikepung dari luar dan dilumpuhkan dari dalam. Tetapi mengapa hal ini bisa terjadi? Apakah sumber kekuatan yang bisa menyebabkannya untuk tetap berdiri dan bahkan berakhir dengan kemenangan? Sekian banyak pertanyaan lain bisa diajukan. Sekarang coba tekukkan mata dan jauhkan perhatian pada hari kini—dimasa kita tak diancam oleh musuh dan disaat kita telah pula sempat. Meskipun tak lama, dianggap sebagai salah satu Negara Asia yang mempunyai masa depan yang cerah. Bagaimanakah kini keadaan negara yang pernah disebut sebagai a new asian tiger ini? Apakah yang salah?
PDRI berperan ketika RI sedang berada dalam keadaan yang paling genting. Bukan saja kota-kota di semua daerah, kecuali Aceh, telah diduduki tentara belanda, tetapi juga sekian banyak daerah—istimewa dan Negara bagian telah didirikan belanda. Kelanjutan masa depan RI memang sedang kritis. Namun setahap demi setahap RI kembali mulai menemukan bentuknya lagi, meskipun dipisah oleh laut dan hutan belantara. Para pemimpin PDRI dan gerilyawan bisa bertahan. Mereka hidup di desa dan bergaul dengan para petani yang selama ini mungkin hanya kenal lewat literature saja, walaupun sebagaian mereka berasal dari kalangan ini juga. Ketika inilah, kabarnya Sjafruddin juga bisa memperdalam pengetahuan tentang tafsir Quran dan menyadari—menurut pengakuannya—bahwa agama di Sumatra Barat bisa diperdebatkan. Tidak hanya diterima, seperti halnya dengan Banten. Sekian banyak cerita lain tentang keintiman orang-orang kota yang nasionalis dengan orang desa yang tak kurang nasionalisnya bisa deceritakan bahkan berulang-ulang. Tetapi apa artinya semua ini? Berbagai kejadian lucu bisa juga diceritakan. Mulai dari camat-camat yang memberanikan diri untuk mencetak wang—meskipun sebenarnya hanya diketik saja – yang hanya berlaku dikecamat saja, karna memang wang RI telah tak ada lagi yang bisa diedarkan, sampai dengan kisah sang bapak komando yang tinggal meminta saja kepada desa berapa bungkus nasi yang mereka perlukan. Apa artinya semuanya?
Semua memperlihatkan bahwa ketika berjuang gerilya sedang berada di puncak itu, masyarakat desa, betapapun mungkin melarat secara ekonomis, tetapi secara structural dan kultur masih utuh. Sistem kepemimpinannya masih terjaga rapi. Sehingga ketika pengungsian orang kota ke desa-desa terjadi masyarakat desa dengan keutuhan yang relativ ini bisa menampung, betapun juga mungkin secara ekonomis merupakan permasalahan yang pelik juga. Barangkali sifat continuum desa dan kota masih sering terganggu oleh perasaan keterpisahan antara kedua sistem pergaulan yang berbeda—bukankah kota pada umumnya jauh lebih pluralistik? – tetapi ketika masanya datang bagi orang-orang kota untuk mengungsi ke desa, maka yang mereka alami bukan sekedar keramahan desa, tetapi juga keterlibatan desa dalam urus revolusi kemerdekaan. Keberadaan organisasi-organisasi perantara dan tokoh-tokoh perantara memungkinkan kesemua ini terjadi. Mungkin diantara para tokoh perantara itu, seperti disinyalir Geertz, adalah para kyai atau para ulama, yang disebutnya sebagai cultural broken, atau mungkin juga para guru, tetapi yang jelas penetrasi organisasi perantara kewilayah pedesaan dapat menguburkan batas-batas struktural desa-kota tersebut. Tak kurang penting oraganisasi perantara yang bercorak supra-desa dan bahkan supra- kabupaten atau bahkan supra-propinsi ini adalah pula lahan yang menumbuhkan dan membina sistem kepemimpinan lokal. Arti dari peranan yang dimainkan oleh para cultural brokers dan organisasi perantara itu semakin besar juga kalau diingat betapa masih sangat terbatasnya seluruh informasi yang bersifat supra-desa di saat itu. Ketika itu baru kira-kira 10 persen masyarakat yang bisa juga tulis—baca—jadi peranan surat kabar atau majalah jelas sangat terbatas. Mas media elektronik yang ada hanyalah radio. Tetapi berpakah jumalah radio dan kelas sosial manakan yang sanggup memilikinya? Radio masih merupakan barang langka yang hanya ditemukan di kota-kota. Kalaupun ada radio yang bisa diselundupkan orang ke kota ke desa di saat mengungsi, dengan apa akan didengarkan, karna listrik hanya ada di kota. Radio transitor adalah gejala akhir tahun 1950-an.
Demikianlah betapa kuatnya struktural masyarakat sukar bisa dibayangkan perang gerilya akan bisa dilancarkan. Tanpa keutuhan ikatan yang dibuat oleh berbagai corak organisasi perantara itu sukar pula untuk diterangkan bagaiman gaya kota bisa diterima desa. Maka, bukankan suatu keanehan, kalau demi pembangunan nasional Orde Baru, memasuki relung-relung kehidupan desa yang otentik dan mengubahkannya sesuai kepentingan kekuasaan yang bersemboyankan “persatuan dankesatuan”. Dengan kebijakan yang diwujudkandalam UU pemerintah desa no.5/1974 ini bukan saja sistem kepemimpinan desa dikaitkan dengan administrasi pemerintah, tetapi juga—dan lebih penting lagi—masyarakat organik desa pun menjadi luluh berantakan. Mestikah disalakan kalau semua harus bergantung kepada pemerintah?
Ko-optasi negara terhadap organisasi perantara – baik melalui penyatuan azas yang berbeda di bawah hegemoni negara, maupun malalui rekayasa politik Golkarisasi –praktik menjadikan organisasi ini tak berdaya. Dalam proses selanjutnya ialah kepemimpinan praktis sepenuhnya berada di tangan birokrasi, militer atau sipil. Mesti pulakah diherankan, kalau lagi-lagi Negara mengambil semua hal sebagai bebannya atau, barangkali lebih tepat, sebagai bagian dari kekuasaannya.
Apakah yang terjadi ketika krisis melanda dan segera melanda bukan saja keuangan dan ekonomi tetapi juga menerpa pemerintah pusat? Bukan saja pembangunan yang sejak awal dipakai sebagai landasan legitimasi pemerintah Orde Baru, menjadi berantakan, juga dan terlebih lagi kemampuan masyarakat untuk mempertahankan diri telah jauh terkuras. Ketika krisis pembangunan telah berubah wajah menjadi krisis sosial, masyarakat pun telah kehilangan kemampuan untuk menahan emosi keutuhan sosial. Konflik komunal pun terjadi, bukan sebentar tetapi berkepanjangan.
Kini, saya ingin berkhayal, bagaimanakah sekiranya Orde Baru tidak terlalu terpukau pada glorifikasi diri, demi penguatan legitimasi dan peneguhan hegemoni wacana dan dominasi kekuasaan, tetapi mempelajari sumber-sumber dari apa yang mereka sebut sebagai national resilience, ketaanan nasional. Sebagaimana secara empirik sempat diperlihatkan dalam sejarah perang gerilya, yang dipimpi PDRI.?
Sejarah sebagai refleksi
Sejarah tidaklah selama-lamanya. Sejarah juga bukan sebuah gudang jawaban terhadap semua pertanyaan. Pernah juga seorang pujangga besar Goethe, barangkali—mengatakan bahwa tak ada yang baru dibawah kolong langit. Ia mungkin benar jika seandainya semua peristiwa yang kita dilalui bisa dianstraksi pada tingkat filsafat. Tetapi secara empirik , tanpa teori dan abstraksi , kita selalu menemukan hal-hal yang rasa-rasanya unprecedented. Semakin jauh dimasuki abad teknologi semakin maka semakin banyak juga hal-hal yang rasa-rasanya belum pernah terjadi. Kalau telah begini sejarah paling-paling hanya bisa memberikan pengetahuan yang bersifat analog dan pararel. Memang sejarah bukan segala-galanya. Tetapi tanpa pengetahuan sejarah kita juga tak mepunyai bahan perbandingan. Tanpa pengetahuan sejarah kita bukan saja tidak mempunyai ancang-ancang hopotetis untuk memahami hari kini, tetapi juga, memperkirakan tantangan masa depan.
Pemegang kekuasaan mempunyai kepentingan dengan how history is written, bagaimana sejarah ditulis. Sejalan dengan ini pemegang kekuasaan pun mempunyai kecenderungan pula untuk melupakan berbagai hal. Ketika kedua kecendrungan ini terjadi maka kita pun tahu bahwa sejarah, yaitu rekontruksi tentang peristiwa di masa lalu, telah dianggap sebagai sebuah bentukan wacana, sebuah discourse, untuk mengatakan sesuatu tentang sesuatu. Ini adalah yang biasa, masalahnya baru muncul ketika wacana ini dijadikan sebagai hak monopoli dan kekuasaan itu mumunculkan diri sebagai pemegang the hegemony of meaning. Jika ini yang terjadi bukan saja kebekuan pemikiran tak akan terhindarkan, pelajaran yang mungkin bisa diberikan sejarah pun terabaikan.
Maka, kini terasa kerugian kalau sejarah telah sepenuhnya dijadikan wacana yang didominasi. Maka pelupaan tentang berbagai hal terjadi dan glorifikasi tentang berbagai hal terjadi pula. Maka kita pun semakin menjauhi sejarah dan semakin mendapatkan mitologi. Masalahnya muncul, ketika ujian datang, kita telah kehilangan sumber kearifan yang penting.
Karena itulah saya sambut dengan gembira seminar ini. Bukan untuk glorifikasi dari episode PDRI yang pendek itu, tetapi sebagai salah satu sumber kearifan yang penting. Yang nyaris terlupakan.
(Catatan Kegiatan: International Seminar on Islamic Finance and its Global Challenges di UNISSULA pada tanggal 11 Mei 2011, ditulis kembali oleh Ma'ruf)