Sabtu, 14 Mei 2011

KISAH PDRI: Sebuah Refleksi Sejarah



Oleh: Prof. Dr. Taufik Abdullah

Pendahuluan

            Dalam kesempatan ini izinkanlah saya mengucapkan penyesalan yang sedalam-dalamnya karena harus saya akui tidak banyak yang akan bisa sampaikan. Pertama, saya yakin para pemakalah tentu telah mempersiapkan para saksi sejarah yang hadir disini tentu akan bisa membangkitkan suasana kesezamanan dengan episode sejarah yang kini kita bicarakan. Mereka, para saksi sejarah itu, mungkin saja bisa lupa dengan tanggal peristiwa yang mereka ceritakan tetapi mereka selalu bisa memberikan suasana hati dari peritiwa atau kejadian yang mereka paparkan. Tentu saja mereka tidak sekedar bisa mengisi lobang-lobang informasi yang terdapat dalam sumber-sumber tertulis. Tidak jarang mereka bisa juga memberikan koreksi dalam unsur-unsur sejarah tentang “apa, siapa, bila dan dimana”. Akhirnya apalagi yang kita harapkan kalau bukan refleksi dan renungan tentang peristiwa yang telah lewat itu. Jadi, apa lagi yang diharapkan dari saya?
            Karna itu janganlah heran, kalau reaksi awal saya menolak waktu diminta untuk tampil hari ini, tetapi karena justru sangat menghargainya. Saya ragu apakah saya bisa memberikan sumbangan yang berharga. Tetapi setelah didesak juga, saya pikir-pikir bukankah panitia sudah memberikan kehormatan pada saya? Maka dengan segala kerendahan hati, izinkanlah saya ikut serta memberikan perenungan sejarah, meskipun tidak terlalu mendalam, tentang Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI).
            Kalau sekiranya seminar ini diadakan pada tanggal 13 juli, maka berarti kita memperingati 53 tahun penyerahan mandat PDRI kepada Presiden dan Wakil Presiden, yang diadakan dalam sebuah sidang kabinet marathon, di Yoyakarta.
            Berbicara tentang penyerahan mandat  itu, saya menjadi teringat pada sebuah kalimat dari buku T.B. Simatupang yang diterbitkan pertama kali dua-tiga tahun setelah ia dibebas tugaskan sebagai KSAP­­­ – dan sekaligus menjadikannya jenderal pensiunan yang termuda – laporan dari bonaran setelah “Yogyakarta Kembali” sebuah ungkapan yang menyatakan kembalinya Yogyakarta ke dalam  kepangkuan R.I­­—maka kini, tulisan Simatupang, “Yogyakarta menanti kedatangan Sudirman dan Sjafruddin”. Memang kedatang kedua pemimpin ini dianggap oleh para pemimpin nasional yang telah berada di Yogyakarta sagat crusial. Bukan saja bagi kelanjutan proses perjuangan, tetapi bahkan juga bagi keutuhan R.I. bukankah kedua mereka yang memimpin perjuangan, bahkab negara, ketika Soekarno dan Hatta telah ditawan Belanda? Dan, sekarang “yogya telah kembali”, tetapi bukan karna keputusan mereka. “Yogya kembali” adalah hasil perundingan antara belanda dan utusan  yang diangkat oleh para pejabat yang secara formal tidak lagi “berkuasa”. Soekarno-Hatta, Presiden dan Wakil Presiden yang tertwan, memberi mandat kepada M. Roem yang berunding dengan Belanda. Padahal bukankah Ketua PDRI, Sjafruddin Prawiranegara, yang secara konstitusioanal berhak memberi mandat itu. Bukankan kepadanya Presiden dan Wakil Presiden/Perdana Menteri memberi mandat untuk memimpin pemerintahan R.I. sebelum mereka ditawan? Di samping itu, semua pun juga tahu bahwa baik Sjafruddin, maupun Sudirman, Panglima Besar yang memimpin perang gerilya, tidak setuju bukan saja dengan “statemen Roem-Royem”. Tetapi juga dengan ide perundingan itu sendiri. Apalagi bagi Sjafruddin, perundingan itu cacat secara hukum. Perundingan atas wibawa Soekarno-Hatta, bukan atas legitimasi kekuasaan yang sah.
            Tetapi keduanya datang juga. Betapa pun pahit yang dirasakan Sjafruddin dan Sudirman, mereka datang juga. Mereka memilih nilai yang lebih tinggi, yaitu perjuangan bersama yang harus dimenangkan. Mereka memilih kembali, demi keutuhan perjuangan. Maka begitulah akhirnya, pada tangal 13 juli 1949, secara resmi Ketua PDRI menyerahkan mandat kepada kedua pemimpin bangsa.
            Sekarang saya teringat pada dua foto bersejarah. Yang satu sangat mengharukan dan yang lainnya sangat melegakan. Foto yang pertama memperlihatkan Sudirman yang sakit dengan mantel yang lusuh berpelukan dengan Soekarno yang berbaju necis, tetapi dengan wajah yang keharuan. Foto ini ambil ketika Sudirman baru saja memasuki Yogyakarta setelah ditandu sekian hari  dengan jalan kaki, langsung ke istana, bertemu dengan Presiden, yang menyambutnya dengan rasa haru. Foto kedua lebih santai, tetapi memantulkan keakraban. Sjafruddin dengan anak yang masih belita duduk bersama Soekarno dan Hatta. Mereka tak ubahnya saudara sekandung yang lama tak bertemu. Secara simbolik kedua foto itu saya anggap sangat berharga. Bukankah-- bak kata orang—sebuah foto berbicra seribu kata? Sebuah foto pun bisa memberi pantulan yang jauh melebihi moment apname. Maka, begitulah bagi saya kedua foto seakan-akan ingin mengatakan bahwa setelah perdebatan yang melibatkan kekuasaan dan etis teratasi, tidak ada yang lebih berharga selain persahabatan dan saling percaya. Setelah segala dilema-dilema etis yang sama-sama dihamparkan kepermukaan tidak ada yang lebih berharga selai dari pada commitment pada perjuangan bangsa yang harus dimenangkan.
            Sejak saya membaca kisah penyerahan mandat PDRI saya tidak pernah melupakan kata-kata yang disampaikan Sjafruddin “PDRI”, katanya, “tidak mempunyai pendapat tentang ‘pernyataan Roem-van Royem’, tetapi segala akibat yang ditimbulkannya kita tanggung bersama:. (sayang baik Mestika Zed maupun Ajip Rosidi tidak mengutip kata-kata ini dalam buku mereka). Dari kalimat yang pendek dan sederhana ini Ketua PDRI ini bukan saja telah merumuskan hasil putusan anggota PDRI, tetapi juga memperlihatkan dengan sangat jelas corak pilihan yang diambil setelah suasan dilematis teratasi.
            Pembentukan PDRI, “Roem-Royem Statement” dan “Yogya kembali” mungkin hanyalah unsur-unsur saja dalam rekontruksi sejarah tentang saat-saat terkhir ‘revolusi kemerdekaan’ tetapi bagi saya tentang peristiwa ini adalah pula sebuah sejarah tentang “the ethics of power”  bukankan masalah etik baru muncul ketika kita telah berhadapan dengan penentu hirarki dari nilai-nilai ketika situasi yang dilematis dihadapi? Baik dan buruk adalah masalah moral yang universal---menganiaya orang disana atau di sini, dulu atau sekarang, tetapi dianggap perbuatan buruk, atau menolong orang yang sengsara di sana atau di sini, dulu atau sekarang, bahkan nanti, akan tetap diangap secara moral yang baik. Tetapi etika bertolak dari teori dan filsafat tentang baik dan buruk dan mendapatkan faktualitasnya ketika situasi dilematis dihadapi. Manakan yang dipilih antara dua hal yang sangat baik? Atau sama buruk? Ukuran apakah yang dipakai ketika pilihan harus dibuat? Buah simalakama, sebagaimana orang tua-tua menyebutnya, adalah contoh dari dilematis etis yang murni. Etika juga baru menjadi problematika ketika hirarki nilai harus ditentukan. Perbuatan manakah yang harus disebut “kewajiban” dimana pula “kebijakan” (virtue). Bisakah virtue mengalahkan kewajiban?. Dan, kalau demikian halnya dalam saat seperti apa pula?.
Sejarah kini bisa mencatat bahwa pembentukan PDRI telah lama direncanakan—seandainya pemerintah RI di Yoyakarta terancam, maka PDRI harus berdiri di Sumatra. Jadi tak ada masalah, karena itulah Sjafruddin, yang menjabat Menteri Kemakmuran dalam kabinet Presidensial, diajak Bung Hatta ke Bukittingi, untuk bersama-sama mempersiapkan kemungkinan yang jelek ini. Tetapi jalan perundingan yang sedang kritis menyebabkan Hatta harus kembali ke Yoyakrta. Tinggalah Sjafruddin mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan. Tetapi serangan Belanda datang, sebelum segala sesuatu selesai. Skenario yang menentukan Hatta memimpin di Bukittingi dan Soekarno ke India dan memperjuangkan Indonesia di luar negeri jadi berantakan. Yogya diduduki Belanda dan menyusul di Bukittingi. Mestikah PDRI didirikan pada waktu itu? PDRI tidaklah otomatis berdiri. Sebuah pergulatan dan etis terjadi. Pergulatan tentang kepantasan dan keharusan  dan tentang etik kekuasaan, muncul dengan begitu saja. Mestikan PDRI didirikan begitu saja, sedangkan nasib presiden dan Wakil Presiden belum diketahui? Kalau didirikan, sedangkan kedua pemipin Negara yang tertinggi itu masih bisa aktif, bukankah hal ini coup detat? Tetap ternyata mereka ditawan, sedangkan PDRI belum juga berdiri, bukankan ini terjadi kekosongan kekuasaan? Hal ini berarti Republik Indonesia secara teoretis ceased to exsist, tak lagi berdiri. Manakah yang harus dipilih? Ketika putusan akhir harus dibuat, dengan sadar para pendiri itu menyebut diri mereka pemerintah darurat, emergency government, yang sewaktu-waktu, jika saatnya sampai akan mengembalikan kekuasaan kepada yang secara konstitusional berhak. Bagaimana selanjutnya, biarlah para pemakalah bercerita tentang berbagai aspek sejarah PDRI.
            Apa yang akan dikatakan tentang kehebatan perang gerilya, kemenangan RI juga sangat ditentuka oleh pergulatan yang terjadi di meja perundingan. Bagaimanapun harus diakaui juga bahwa PBB iku mamainkan peranan dalam proses dekolonisasi Indonesia. Dewan Keamanan dari badan dunia inilah menuntut Belanda agar segera kembali memulai perundingan dengan RI. Ketika pemerintah telah diharuskan untuk memenuhi desakan ini, tentulah dengan mudah saja Belanda dan PBB dapat menghubungi Soekarno dan Hatta. Sebab bukankah mereka berda dalam ttawanan. Maka timbul juga pertanyan, apakah Soekarno dan Hatta, yang sebelum ditawan sempat mengirim radiogram yang memberi mandate kepada Sjafruddin dan (Maramis, yang berda di India, kalau Sjafruddin gagal), telah dengan begitu saja tergiur oleh kekuasaan yang kembali bakal didapatkan sehingga dengan begitu saja menyetujui usulan PBB untuk melanjutkan perundingan denga Belanda ? mungkin juga, tetapi mungkin juga mereka lebih dahulu harus menghadapi situasi dilematis. Biografi Soedarpo, yang baru saja diedarkan menjelaskan bahwa ia dengan sengaja di utus dari New York, untuk menjelaskan kepada mereka yang ditawan di Bangka, bahkan negara-negara barat hanya mengenal Soekarno-Hatta. Terutama delegasi Inggris tak bisa melupakan wibawa Soekarno ketika ia berhasil menghentikan pertempuran Surabaya di akhir Oktober, 1945 dan menyelamatkan pasukan sekutu dari kehancuran. Soedarpo menjelaskan suasana dilematis yang dihadapi Soekarno-Hatta. Semestinya semua ditentukan Sjafruddin, tetapi dimanakah dia? Sebaliknya kalau momen ini dibiarkan lewat begitu saja, tanpa keputusan pasti, siapa tahu pula simpati masyarakat dunia membaik kepada Belanda. Ditengah suasana yang dilemtis ini, putusan harus dibuat. Dan Roem juga seorang menteri yang tertawan diperintahkan untuk berunding. Tetapi Roem, seperti juga Natsir, tak bisa pula membebaskan diri dari sitiasi dilematis ini. Hatta mencari Sjafruddin ke Aceh tetapi ia entah dimana?
            Ketika putusan itu telah dibuat dan perundingan yang dialukan pejuang mana yang tak merasa dikhianati? Bagaimanapun juga PDRI dan TNI, yang dipimpin Sudirman, mersa telah dilangkahi begitu saja oleh mereka “yang tertawan di Bangka”. Bukan itu saja, bahkan “pernyataan Roem-Royem” itu mereka anggap merugikan R.I., karena Roem dan para penasehatnya, tidak mengetahui dengan baik kekuatan R.I., yang bergerilya. Tetapi ketika perasaan tersingung sudah terjadi, pertanyaan dilematis pun tak terelakan. Mestikah mereka terima kenyatan itu, padahal secara etis dan konstitusional azas kepatuhan telah dilanggar oleh Soekarno-Hatta, dua pemimpin nasional yang tetap diakui. Tetapi mestikah mereka tolak pada hal kesemuanya terjadi bukanlah kerna dorongan kekuasaan, tetapi demi kemerdekaan bangsa? Bagaimanakah jadinya, tanya Sjafruddin dalam perundingan para utusan Hatta, dibawah pimpinan natsir, yang berhasil menemui PDRI di padang Japang, Sumatra Barat, “kalau ada pilihan antara Soekarno-Hatta dan Sjafruddin-Rasyid?”. Rasyid adalah Menteri dan Gubernur Militer Sumatra Tengah yang sangat keras menetang pernyataa Roem-Royen.
            Agak panjang mungkin saya bercerita tentang masa akhir. PDRI ini. Tetapi memang episode ini adalah salah satu contoh yang otentik dari sejarah tanah air kita, ketika politik dan kekuasaan masih dianggap, sebagaimana pernah dikatakan Sjahrir dalam Renungan Indonesia-nya, “sebuah panggilan”. Haji Agus Salim the Grand Old man of the Republic, tentu menyebut semua ini sebagai lilahi ta’ala. Uraian sejarah yang memantulkan dilemma etis bagi saya sekarang makin keras berbunyi. Kadang-kadang saya bertanya juga mengapa di waktu revolusi dulu etik dan moralitas politik bisa sangat kuat membayangi perilaku politik para pemimpin kita dan mengapa di saat reformasi yang ingin menyeluruh itu. Semuanya telah menjadi hal yang sedemikian langka. For better or worse saya terlanjur mempelajari sejarah dan karna itu tertentu terlanjur juga membanding dulu dan sekarang. Maka mudah-mudahan saya tidak dikatakan sebagai seorang yang mabuk nostalgia, kalau saya dengan berat hati harus mengatakan juga bahwa perdebatan politik dan bahkan persaingan politik yang dulu juga sering terjadi, jika dibandingkan dengan sekarang, lebih bermutu. Mereka berdebat dan bersaingan with style, bukan dengan mengobral kata-kata pasaran yang malah semakin menyebabkan masyarakat semakin jauh terpuruk pada apa yang pernah saya sebut sebagai “spiral kebodohan yang menukik ke bawah”. Sebuah ucapan bodoh ditangapi dengan lebih bodoh lagi dan begitu juga seterusnya, maka krisis pun makin mendalam juga. Tiba-tiba  yang kita temukan bukan lagi “kebijakan”, virtue. Bahkan bukan lagi kewajiban, duty tetapi hal lain yang entah apa namanya.
            Kembali saya teringat kepada dua foto yang cerita diatas. Keduanya memancarkan suasana bahwa setelah segala situasi dilematis teratasi rasa saling percaya dipupuk kembali. Maka, maafkanlah saya kalau saya masih saja saling percaya menyesalkan tentang masih berlanjutnya apa yang sejak terjadinya lengser keprabon presiden Soeharto saya sebut sebagai the crisis of mutual trust di antara para elit politik—mereka yang dulu, telah lama benar rasanya—biasa kita sebut sebagai “pemimpin nasional”.
            Mungkin ucapan sinis Voltaire, sang filsof sinis yang konon secar intelektual ikut mematangkan suasana bagi meletusnya Revolusi Perancis, benar juga mengatakan, bahwa “satu-satunya pelajaran yang didapat dari sejarah ialah orang tak pernah belajar dari sejarah”.  Hanya saja masa akhir dari PDRI tidak sekedar memberi pelajaran yang bisa digali dari pengalaman masa lalu, tetapi contoh dari apa yang bisa disebut sebagai alesson on the ethics of power. Bagaimanakah harus berbuat ketika dilema antara panggilan kekuasaan dan keharusan moral telah datang? Maka dalam hal ini ucapan Bismarck. Kanselir Prussia, yang berjasa mempersatukan Jerman, baik juga dipakai sebagai bahan renungan, “orang-orang pandai”, kata Bismarck, “mengatakan bahwa mereka belajar dari pengalaman, saya lebih suka belajar dari pengalaman orang lain”. Atau, dengan kata lain, mengapa tidak belajar dari sejarah.
            Coba bayangkan apakah yang akan terjadi kalau saja Sudirman dan Sjafruddin sepakat untuk menolak Pernyataan Roem-Royem”? bukankan mereka berda di pihak yang benar? Sebab merekalah yang menjaga eksistensi R.I. bagi Sudirman hal ini mungkin semakin pahit juga dirasakan, sebab ia telah memberikan kesetiannya kepada Sjafruddin, ketika ketua PDRI ini menolak keinginan Sudirman untuk menjadi penentu kebijaksanaan di Jawa. Sekarang kesetiannya itu diuji lagi. Apakah ia harus meninggalkan Sjafruddin pada hal ia telah mengakui kepemimpinan ketua PDRI ini? Perlawanan mereka juga adil, sebab bukankan PDRI yang mempunyai mandat? Tetapi apakah “benar” dan “adil” telah memadai? Bagaimana kalau mereka paksakan keduanya? Saya tak bisa membayangkan”, kata dokter Halim kepada Sjafruddin ketika mereka bersama yang lain, mandi di pancuran dekat Padang Japang, setelah semalaman berdebat, “bagaimana jadinya nanti kalau kamu tidak ke Yogya”. Memang siapa yang bisa membayangkan apa yang akan terjadi? Begitulah pengalaman masa akhir PDRI mengajarkan juga kepada kita bahwa “benar” dan “adil” belum menyelesaikan masalah kalau tidak didampingi oleh “kearifan”.
“Kearifan” sesungguhnya bukan sekedar “kebijakan”, tetapi adalah “kewajiban”. Landasannya bukan saja terletak pada keadilan dan kebenaran yang telah inheren dalam dirinya, tetapi juga terletak pada kemampuan untuk memahami bentuk dan landasan kebenaran dan keadilan yang dipunyai pihak lain. Kearifan adalah pula kesanggupan untuk meletakkan sesuatu dalam konteks yang sesuai dengan kesediaan mewujudkannya dalam tahap waktu yang telah diperhitungkan.
            Siapakah kini yang tak merasakan betapa semakin langkanya “kearifan” itu berada di tengah-tengah kita? Semua atau sebagian besar mereka yang kini kita sebut “elite politik”, sibuk dengan “kebenaran” dan “keadilan” dari sudut mereka, tetapi melupakan nilai yang bisa merangkul keduanya, yaitu “kearifan”. Siapakah lagi yang akan bisa dipakai sebagai bahan perbandingan, jika bukan sebagai contoh? Ketika sikap yang makin melupakan kearifan ini telah menjalar ke bawah apalagi yang terjadi kalau bukan perilaku yang bercorak vigilante-isme dan tribalistk? Meskipun dengan memakai istilah disuci-sucikan namun perilaku tribalistik sering juga mencuat keluar, terutama kalau berhadapan dengan masalah kepemimpinan . meskipun berlagak demi kebaikan, namun kelakukan vigilante mendatangkan malapetaka social yang mengenaskan juga. Karna yakin telah berbuat adil, tempat yang dinilai tempat maksiat, dimusnahkan tanpa ampun. Karena buku tertentu telah melanggar nilai-nilai yang dihormati, maka toko buku yang di sweeping dan buku di bakar. Kita menjadi bertanya-tanya barangkali sekian lama berada di bawah kekuasaan yang otoriter telah menyebabkan masyarakat kita kehilangan kepekaan akan pentingnya kearifan, yang harus digandengkan dengan kebenaran dan keadilan.

Sejarah sebagai ingatan kolektif
            Barulah tahun 1989 “sejarah PDRI”, dengan izin khusus dari Presiden Suharto, boleh dibicarakan kembali. Bahkan masih segar dalam ingatan saya kedongkolan menteri Emil Salim, karena sampai saat tekhir surat izin untuk mengadakan seminar itu masih belum juga dikeluarkan. Tetapi sudahlah, bukankan masa lalu itu, kata orang ilmuwan “negeri asing tempat orang berbuat yang aneh-aneh”? mungkin sebuah ironi bahwa peristiwa yang masih menjadi bagian dari “ingatan kolektif” itu seakan-akan telah terhapus dari catatan sejarah. Barangkali tidak terlalu sukar untuk memahami mengapa Sriwijaya, yang konon merupakan kerajaan maritim Nusantara yang terbesar sebelum Majapahit, baru di tahun diketahui lagi keberadaannya di tahun 1913. Masa ratusan tahun tanpa dukungan tradisi tulisan yang telah menyebar memang bisa juga mengubur segala sesuatu kedalam amnesia kultural dan sosial. Kalau akhir sejarah Sriwijaya diketahui juga, maka kitapun bisa berkata, mengikuti kategori Bernard Lewis, inilah salah satu dari discovered history. Tetapi PDRI? Seluruhnya sangat utuh berada dalam kategori remembered history. Hanya saja proses pelupaan sejarah dijalankan ketika ingatan kolektif tentang sejarah revolusi nasional ingin direkam.
            Untuk jalasnya baiklah saya akan bercerita sedikit tentang masalah histobiografi kita. Tentu apa yang akan saya katakana tidak terlalu aneh bagi mereka yang sempat mengamati sejarah dari penulisan sejarah tanah air kita. Begini, kalau diingat-ingat barulah setelah kedaulatan dihadapkan oleh negara kita yang masih muda—jadi pada tahun 1950—para cendekiawan kita merasakan ada sesuatu yang kurang dalam perbendaharaan intelektual bangsa kita, yaitu bangsa kita “tidak mempunyai sejarah”. Dari sudut pengertian sejarah sebagai hasil rekonstruksi yang kritis maka yang kita punyai hanyalah sejarah kolonial-- yaitu sejarah yang bertolak keprihatian dan perspektif kolonial. Lainnya, hanya cerita-cerita dan legenda dan mitos, yang mungkin benar-benar terjadi, meskipun tidak murni lagi, tetapi mungkin pula hanyalah cultural concern yang diuraikan dalam bentuk kisah-kisah yang bisa disebut kalau menurut bahasa digital sekarang—virtual history. Jadi pendapat yang mengatakan bahwa salah satu kejahatan kolonialisme ialah memisahkan rakyat yang terjajah dari sejarahnya, tampaknya tak jauh meleset dari kenyataan yang sesunguhnya. Karna itu masuk akal juga kalau sejak tahun 1950 itu ada usaha untuk menemukan kembali sejarah yang hilang atau, dengan istilah yang kini dikenal, mendapatkan sejarah nasional. Tetapi bagaimana caranya? Jalan pintas yang segera kelihatan dalam buku pelajaran inilah membalik saja dasar moralnya—yang dulu dikatakan oleh sejarah kolonial “baik”. Kini kita katakan “jelek” dan sebaliknya. Maka Jan Pieter Zoo Coen tidak lagi “pahlawan”, tetapi “penguasa kolonial yang jahat” dan diponegoro bukan lagi “pemberontak”, tetapi “pahlawan kemerdekaan”. Dan begitulah seterusnya. Tetapi dalam waktu yang singkat jalan pintas ini harus ditinggalkan, sebab bukankan ini hanya memperpanjang ketergantungan kepada warisan kolonial? Maka kesadaran akan pentingnya peralihan perspektif sejarah pun mulai dirasakan. Dalam suasana ini sejarah revolusi belum merupakan bagian dalam pergolakan ilmu sejarah. Revolusi masih diperlukan sebagai pengalaman romantis, yang lebih banyak diungkapkan dalam sastra, lagu dan musik, dan film. Revolusi adalah pengalaman batin, belum dirasakan sebagai pengalaman empiric yang harus direkonstruksi.
Masalahnya baru datang ketika revolusi tidak lagi diperlakukan hanya pengalaman romantic dan heroic dimasa lalu, tetapi sebagai sebuah suasana yang harus selalu dihirupi. Masalahnya menjadi berbeda dalam ingatan kolektif, tetapi sebagai sesuatu episode yang terus berlanjut. Indonesia secara konseptual telah berada dalam suasana “revolusi multi-kompleks”, dibawah pimpinan Pemimpi Besar Revolusi. Ketika inilah pengalaman empirik dalam revolusi nasional, yang disebut sebagai “revolusi fisik”, bukan saja ingin diceritakan, tetapi juga—dan lebih penting—telah dijadikan sebagai sebuah wilayah persaingan, a field of contestation. Ketika ini pulalah strategi bagi terwujudnya “pengentalan ingatan” dan “pelupaan” dijalankan. Kalau telah begini, siapakan yang akan diuntungkan seandainya ingatan tentang PDRI dipelihara dan siapa pulakan yang akan dirugikan? Peristiwa sejarah—terpaksa diakui juga— bukan saja hasil dari proses pemilihan—tidak semua kejadian dimasukkan kedalam kategori “peristiwa sejarah” – tetapi juga mempunyai kemungkinan untuk memantulkan berbagai corak rangsangan emosional dan intelektual. Mungkin sudah takdir, sebab kita ini pulalah beberapa orang tokoh terkemuka PDRI, seperti Sjafruddin dan beberapa orang tokoh militer di Sumatra, telah berada pada posisi yang berseberangan secara ekstrim dengan Pemimpin Besar Revolusi. Maka proses pelupaan tentang hal-hal yang sebaiknya diingat-ingat dan dikenang-kenang serta dibanggakan oleh sisten kekuasaan berjalan lancar dan tegar. Barangkali tidak umum dirasakan, tetapi memang sesungguhnya usaha penguasaan ingatan kolektif dan sejarah oleh sistem kekuasaaan barulah dilancarkan sejak masa demokrasi terpimpin dan mulai saat itu jalan kembali telah tertutup. Penguasaan ingatan kolektif oleh kekuasaan baru berakhir dengan jatuhnya Orde Baru.
            Mungkin sudah takdir atau barangkali salah suratan nasib saja kalau sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 diterapkan sampai dengan lengser keprabon tanggal 21 Mei 1998 Indonesia berturut-turut berada di bawah kekuasaan dua negara serakah (greedy states) yang tidak puas dengan penguasaan politik dan ekonomi. Dengan berbagai cara negara serakah ini inginmenguasai kesadaran individu dan mendominasi ingatan kolektif bangsa. Negara berhasil menampilkan dirinya sebagai pemegang the hegemony of meaning, penguasa makna dan wacana, dan pengemban the mastery of collective memory. Maka, kemudian, ketika Orde Baru telah berkuasa kitapun sibuk mengingat dan memperbesar makna penyerbuan Yogyakarta pada tanggal 1 Maret – peristiwa yang disebut Janur kuning—atau Supersemar. Bukankah pada kedua peristiwa itu sang penguasa Orde Baru bisa tampil sebagai hero? Tetapi sementara mengingat dan membesarkan peristiwa tertentu, kita dibuai untuk apa dengan sebuah episode yang bisa memperlihatkan betapa ketelepasan dari dilema etis mengenai kekuasaan, sebuah kontinuitas dari keberadaan negara yang diprokalamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, bisa terjaga. Episode PDRI tidak ditemukan dalam buku teks sejarah.
            Jika dikaji hubungan antara kekuasaan dan sejarah, apa yang dilakukan oleh kedua negara serakah itu sesungguhnya merupakan hal yang biasa saja. Di manapun juga dan kapanpu juga penguasaan akan ingatan kolektif biaya diusahakan oleh pemegang kekuasaan. Kalaupun usaha penguasaan itu dianggap sebuah kejahatan maka terpaksa diakui juga bahwa kejahatan itu adalah hal yang paling lumrah dilakukan oleh setiap kekuasaan yang otoriter dan sentralistis. Tetapi kalau saja kearifan sejarah (historical wisdom) bisa dipakai, barangkali tak salah kalau kita mengurut dada sambil menghela nafas panjang. Betapa besar kerugian yang didapatkan dengan melupakan PDRI. Koni, dengan keuntungan sebuah hindsight, barangkali saya tidak salah kalau saya katakan, bahwa episode PDRI bisa dilihat sebagai sebuah “ laboratorium sejarah” untuk mempelajari dengan baik apa jadinya dengan negeri ini ketika hamper seluruh sistem kepemimpinan puncak telah dilumpuhkan dan kota-kota di semua daerah, kecuali Aceh, telah diduduki musuh. Baiklah, jawabannya sederhana saja—Republik Indonesia survived, berhasil melanjutkan kehidupannya, meskipun telah dikepung dari luar dan dilumpuhkan dari dalam. Tetapi mengapa hal ini bisa terjadi? Apakah sumber kekuatan yang bisa menyebabkannya untuk tetap berdiri dan bahkan berakhir dengan kemenangan? Sekian banyak pertanyaan lain bisa diajukan. Sekarang coba tekukkan mata dan jauhkan perhatian pada hari kini—dimasa kita tak diancam oleh musuh dan disaat kita telah pula sempat. Meskipun tak lama, dianggap sebagai salah satu Negara Asia yang mempunyai masa depan yang cerah. Bagaimanakah kini keadaan negara yang pernah disebut sebagai a new asian tiger ini? Apakah yang salah?
            PDRI berperan ketika RI sedang berada dalam keadaan yang paling genting. Bukan saja kota-kota di semua daerah, kecuali Aceh, telah diduduki tentara belanda, tetapi juga sekian banyak daerah—istimewa dan Negara bagian telah didirikan belanda. Kelanjutan masa depan RI memang sedang kritis. Namun setahap demi setahap RI kembali mulai menemukan bentuknya lagi, meskipun dipisah oleh laut dan hutan belantara. Para pemimpin PDRI dan gerilyawan bisa bertahan. Mereka hidup di desa dan bergaul dengan para petani yang selama ini mungkin hanya kenal lewat literature saja, walaupun sebagaian mereka berasal dari kalangan ini juga. Ketika inilah, kabarnya Sjafruddin juga bisa memperdalam pengetahuan tentang tafsir Quran dan menyadari—menurut pengakuannya—bahwa agama di Sumatra Barat bisa diperdebatkan. Tidak hanya diterima, seperti halnya dengan Banten. Sekian banyak cerita lain tentang keintiman orang-orang kota yang nasionalis dengan orang desa yang tak kurang nasionalisnya bisa deceritakan bahkan berulang-ulang. Tetapi apa artinya semua ini? Berbagai kejadian lucu bisa juga diceritakan. Mulai dari camat-camat yang memberanikan diri untuk mencetak wang—meskipun sebenarnya hanya diketik saja – yang hanya berlaku dikecamat saja, karna memang wang RI telah tak ada lagi yang bisa diedarkan, sampai dengan kisah sang bapak komando yang tinggal meminta saja kepada desa berapa bungkus nasi yang mereka perlukan. Apa artinya semuanya?
            Semua memperlihatkan bahwa ketika berjuang gerilya sedang berada di puncak itu, masyarakat desa, betapapun mungkin melarat secara ekonomis, tetapi secara structural dan kultur masih utuh. Sistem kepemimpinannya masih terjaga rapi. Sehingga ketika pengungsian orang kota ke desa-desa terjadi masyarakat desa dengan keutuhan yang relativ ini bisa menampung, betapun juga mungkin secara ekonomis merupakan permasalahan yang pelik juga. Barangkali sifat continuum desa dan kota masih sering terganggu oleh perasaan keterpisahan antara kedua sistem pergaulan yang berbeda—bukankah kota pada umumnya jauh lebih pluralistik? – tetapi ketika masanya datang bagi orang-orang kota untuk mengungsi ke desa, maka yang mereka alami bukan sekedar keramahan desa, tetapi juga keterlibatan desa dalam urus revolusi kemerdekaan. Keberadaan organisasi-organisasi perantara dan tokoh-tokoh perantara memungkinkan kesemua ini terjadi. Mungkin diantara para tokoh perantara itu, seperti disinyalir Geertz, adalah para kyai atau para ulama, yang disebutnya sebagai cultural broken, atau mungkin juga para guru, tetapi yang jelas penetrasi organisasi perantara kewilayah pedesaan dapat menguburkan batas-batas struktural desa-kota tersebut. Tak kurang penting oraganisasi perantara yang bercorak supra-desa dan bahkan supra- kabupaten atau bahkan supra-propinsi ini adalah pula lahan yang menumbuhkan dan membina sistem kepemimpinan lokal. Arti dari peranan yang dimainkan oleh para cultural brokers dan organisasi perantara itu semakin besar juga kalau diingat betapa masih sangat terbatasnya seluruh informasi yang bersifat supra-desa di saat itu. Ketika itu baru kira-kira 10 persen masyarakat yang bisa juga tulis—baca—jadi peranan surat kabar atau majalah jelas sangat terbatas. Mas media elektronik yang ada hanyalah radio. Tetapi berpakah jumalah radio dan kelas sosial manakan yang sanggup memilikinya? Radio masih merupakan barang langka yang hanya ditemukan di kota-kota. Kalaupun ada radio yang bisa diselundupkan orang ke kota ke desa di saat mengungsi, dengan apa akan didengarkan, karna listrik hanya ada di kota. Radio transitor adalah gejala akhir tahun 1950-an.
Demikianlah betapa kuatnya struktural masyarakat sukar bisa dibayangkan perang gerilya akan bisa dilancarkan. Tanpa keutuhan ikatan yang dibuat oleh berbagai corak organisasi perantara itu sukar pula untuk diterangkan bagaiman gaya kota bisa diterima desa. Maka, bukankan suatu keanehan, kalau demi pembangunan nasional Orde Baru, memasuki relung-relung kehidupan desa yang otentik dan mengubahkannya sesuai kepentingan kekuasaan yang bersemboyankan “persatuan dankesatuan”. Dengan kebijakan yang diwujudkandalam UU pemerintah desa no.5/1974 ini bukan saja sistem kepemimpinan desa dikaitkan dengan administrasi pemerintah, tetapi juga—dan lebih penting lagi—masyarakat organik desa pun menjadi luluh berantakan. Mestikah disalakan kalau semua harus bergantung kepada pemerintah?
            Ko-optasi negara terhadap organisasi perantara – baik melalui penyatuan azas yang berbeda di bawah hegemoni negara, maupun malalui rekayasa politik Golkarisasi –praktik menjadikan organisasi ini tak berdaya. Dalam proses selanjutnya ialah kepemimpinan praktis sepenuhnya berada di tangan birokrasi, militer atau sipil. Mesti pulakah diherankan, kalau lagi-lagi Negara mengambil semua hal sebagai bebannya atau, barangkali lebih tepat, sebagai bagian dari kekuasaannya.
Apakah yang terjadi ketika krisis melanda dan segera melanda bukan saja keuangan dan ekonomi tetapi juga menerpa pemerintah pusat? Bukan saja pembangunan yang sejak awal dipakai sebagai landasan legitimasi pemerintah Orde Baru, menjadi berantakan, juga dan terlebih lagi kemampuan masyarakat untuk mempertahankan diri telah jauh terkuras. Ketika krisis pembangunan telah berubah wajah menjadi krisis sosial, masyarakat pun telah kehilangan kemampuan untuk menahan emosi keutuhan sosial. Konflik komunal pun terjadi, bukan sebentar tetapi berkepanjangan.
            Kini, saya ingin berkhayal, bagaimanakah sekiranya Orde Baru tidak terlalu terpukau pada glorifikasi diri, demi penguatan legitimasi dan peneguhan hegemoni wacana dan dominasi kekuasaan, tetapi mempelajari sumber-sumber dari apa yang mereka sebut sebagai national resilience, ketaanan nasional. Sebagaimana secara empirik sempat diperlihatkan dalam sejarah perang gerilya, yang dipimpi PDRI.?

Sejarah sebagai refleksi
            Sejarah tidaklah selama-lamanya. Sejarah juga bukan sebuah gudang jawaban terhadap semua pertanyaan. Pernah juga seorang pujangga besar Goethe, barangkali—mengatakan bahwa tak ada yang baru dibawah kolong langit. Ia mungkin benar jika seandainya semua peristiwa yang kita dilalui bisa dianstraksi pada tingkat filsafat. Tetapi secara empirik , tanpa teori dan abstraksi , kita selalu menemukan hal-hal yang rasa-rasanya unprecedented. Semakin jauh dimasuki abad teknologi semakin maka semakin banyak juga hal-hal yang rasa-rasanya belum pernah terjadi. Kalau telah begini sejarah paling-paling hanya bisa memberikan pengetahuan yang bersifat analog dan pararel. Memang sejarah bukan segala-galanya. Tetapi tanpa pengetahuan sejarah kita juga tak mepunyai bahan perbandingan. Tanpa pengetahuan sejarah kita bukan saja tidak mempunyai ancang-ancang hopotetis untuk memahami hari kini, tetapi juga, memperkirakan tantangan masa depan.
            Pemegang kekuasaan mempunyai kepentingan dengan how history is written, bagaimana sejarah ditulis. Sejalan dengan ini pemegang kekuasaan pun mempunyai kecenderungan pula untuk melupakan berbagai hal. Ketika kedua kecendrungan ini terjadi maka kita pun tahu bahwa sejarah, yaitu rekontruksi tentang peristiwa di masa lalu, telah dianggap sebagai sebuah bentukan wacana, sebuah discourse,  untuk mengatakan sesuatu tentang sesuatu. Ini adalah yang biasa, masalahnya baru muncul ketika wacana ini dijadikan sebagai hak monopoli dan kekuasaan itu mumunculkan diri sebagai pemegang the hegemony of meaning. Jika ini yang terjadi bukan saja kebekuan pemikiran tak akan terhindarkan, pelajaran yang mungkin bisa diberikan sejarah pun terabaikan.
            Maka, kini terasa kerugian kalau sejarah telah sepenuhnya dijadikan wacana yang didominasi. Maka pelupaan tentang berbagai hal terjadi dan glorifikasi tentang berbagai hal terjadi pula. Maka kita pun semakin menjauhi sejarah dan semakin mendapatkan mitologi. Masalahnya muncul, ketika ujian datang, kita telah kehilangan sumber kearifan yang penting.
            Karena itulah saya sambut dengan gembira seminar ini. Bukan untuk glorifikasi dari episode PDRI yang pendek itu, tetapi sebagai salah satu sumber kearifan yang penting. Yang nyaris terlupakan.
(Catatan Kegiatan: International Seminar on Islamic Finance and its Global Challenges di UNISSULA pada tanggal 11 Mei 2011, ditulis kembali oleh Ma'ruf)
   
 


Kepentingan Rakyat Dalam Pemikiran Ekonomi Mr. Sjafruddin Prawiranegara














Oleh: Lukman Hakiem
Sekretaris Panitia Satu Abad Mr. Sjafruddin Prawiranegara (1911-2011)

Dalam suatu kesempatan, Ketua Dewan Direktur Lembaga Studi Agama dan Filsafat (KSAF) Jakarta, Drs. Mohammad Dawam Rahardjo, mengungkapkan kesinambungan pembangunan ekonomi Orde Baru dengan kebijaksanaan pembangunan ekonomi yang sudah berkembang pada tahun 1950-an. Menurutnya pemerintah Orde Baru mengambil pemikiran ekonomi Dr. Mohammad Hatta dibidang koperasi. Pembangunan pertanian, penarikan modal asing, dan keseimbangan anggaran belanja Negara Mr. Sjafruddin Prawiranegara. Pengembangan industri kecil dan menengah, pengembangan wiraswasta pribumi, dan pemakaian kredit/hutang luar negeri, diambil dari pikiran Prof Dr. Soemitro Djojohadikusumo.
Menurut Dawam, pikiran ketiga tokoh di atas saling melengkapi dan kesemuanya diambil oleh arsitek pembangunan ekonomi Orde Baru.
Ungkapan Dawam bukan sebuah basa-basi. Sebab, seperti ternyata dari tulisan-tulisan yang dikumpulkan dan disunting oleh Ajip Rosidi, Ekonomi dan Keuangan Makna Ekonomi Islam Kumpulan Karangan Terpilih 2. (CV. Haji masagung, Jakarta, 1988) tiga pikiran utama Sjafruddin (1911-1989) di bidang ekonomi terlihat sangat jelas.
Ketika mengomentari kebijaksanaan pemerintah tanggal 30 Maret 1983 (Karet 30) yang mendevaluasikan rupiah terhadap mata uang asing, Sjafruddin antara lain menulis: “kalau pemerintah mengelola dan membangun ekonomi Indonesia secara wajar dengan berpedoman kepada APBN yang benar-benar berimbang, yaitu tidak terlalu bergantung pada pinjaman-pinjaman luar negeri dan penerimaan-penerimaan dari minyak bumi, kita pada tahun 1978 itu tidak perlu mengadakan devaluasi, tidak perlu ada Kenop 15. Dan begitu juga sekarang, Maret 30 tidak perlu diadakan kalau pemerintah berkenan memperhatikan pandangan dan anjuran saya itu.”
Lima tahun sebelumnya, ketika mengomentari kebijaksanaan pemerintah tanggal 15 November 1978 (Kenop 15) yang melahirkan devaluasi rupiah, Sjafruddin menulis: “Kalau kita dalam Repelita II (yang meliputi masa 1974/1975-1978/1979) telah bersedia ‘berdikari’ dan menyusun anggaran pembangunan yang benar-benar berimbang – tidak mengharapkan ‘bantuan’ (=pinjaman) dari luar negeri—maka kita masih dapat menyusun rencana pembangunan yang progressif, mulai dari tahun 1974/1975-1978/1979 tanpa minta-minta bantuan dari luar negeri.”
Sikap “anti” pinjaman dari luar negeri itu bukanlah tanpa alasan, sebab menurut Sjafruddin hasil ekspor kita sejak tahun 1972/1973 hingga 1977/1978, melonjak-lonjak nilainya. Di mata Sjafruddin, rencana pembangunan yang disusun pemerintah terlampau ambisius, jauh di atas kemampuan rakyat dan kurang memperhatikan prinsip “berdikari”.
Pendapat Sjafruddin itu disetujui Dawam Rahardjo. Ia berkata: “Ini memang aneh, hutang luar negeri meningkat ketika devisa juga meningkat. Seharusnya, kalau devisa meningkat hutang dikurangi. Kalau devisa meningkat sedangkan hutang juga meningkat , akhirnya tidak efisien, banyak korupsi dan sebagainya.” Dawam kemudian menunjuk studi yang dilakukan Sritua Arif dan Adi Sasono yang membuktikan bahwa jika hanya untuk mencapai pertumbuhan ekonomi pada tingkat sekarang ini tidak perlu dengan hutang luar negeri. “Studi itu membuktikan kebenaran pendapat Sjafruddin,” kata Dawam.
Meskipun Sjafruddin dikenal sebagai lawan politik Bung Karno yang amat tangguh, tapi ia tidak kehilangan obyektivitasnya dalam menilai kebijaksanaan Bung Karno yang benar. Yang benar dari Bung Karno, ia katakan sebagai kebenaran.
Dalam soal kebijakan ekonomi, Sjafruddin tampak amat apresiatif terhadap kebijaksanaan Ekonomi Terpimpin yang diintrodusir Bung Karno, karena ia melihat tujuan Ekonomi Terpimpin adalah melindungi dan memperkuat ekonomi rakyat pribumi yang miskin. Meskipun Sjafruddin mengeritik pelaksanaan Ekonomi Terpimpin yang terlalu ekstrim, toh ia menilai kebijakan ekonomi moneter dan liberal zaman Orde Baru terlalu mementingkan uang sebagai alat pembangunan.
Kepentingan rakyat adalah kepedulian utama pikiran-pikiran ekonomi Sjafruddin. Ia berpendapat, yang menjadi korban dari ekonomi bebas Orde Baru adalah perusahan-perusahan nasional baik kepunyaan negara maupun swasta, yang bukan saja sangat kekurangan modal dan pada umumnya tidak dapat mengadakan off-shore-loans seperti perusahan milik asing atau setengah asing, tetapi juga kekurangan managerial knowlodge dan skill. Selanjutnya, modal asing—yaitu perusahan-perusahan asing yang bermodal—lebih suka bekerjasama dengan warganegara Indonesia yang sejak dulu biasa dan oleh karena itu mempunyai pengetahuan dan ketrampilan dalam usahan dagang dan industri, yaitu warganegara turunan asing, khususnya Cina. Apalagi kalau modal asing itu milik Cina asing, warganegara Singapura, Taiwan, atau Hongkong tentu mereka akan mencari pembantu atau parnernya di kalangan WNI turunan Cina.
Di bawah politik ekonomi Orde Baru yang praktis dan pragmatis, dan yang tampaknya lebih mementingkan modal dan skill yang sudah ada –walaupun dimiliki orang asing– daripada cita-cita untuk membentuk modal dan dan skill nasional sendiri, perusahaan-perusahaan Indonesia (pribumi) yang tadinya sudah berkembang, berguguran satu persatu, tidak tahan menghadapi tantangan dan saingan modal asing. Perusahaan-perusahaan sirup dan air buah-buahan habis disapu bersih oleh perusahaan-perusahaan minuman raksasa seperti Coca cola, Green Spot, Fanta dan lain-lain. Perusahaan-perusahaan tekstil yang dulu meramaikan Majalaya (Jawa Barat) dan dimiliki orang-orang pribumi, disapu bersih oleh perusahaan-perusahaan tekstil raksasa. Majalaya, bagi Sjafruddin, adalah cermin keadaan ekonomi Indonesia. Kita lambat laun dijajah oleh modal asing yang dikendalikan oleh manajer-manajer asing atau WNI nonpribumi, dan orang-orang pribumi hanya menjadi kuli-kulinya, paling banter mandor-mandornya.
Sjafruddin masih melanjutkan uraiannya yang membenarkan bahwa lenyapnya perusahaan-perusahaan kecil milik pribumi digantikan oleh perusahaan-perusahaan besar yang memerlukan modal besar, adalah proses alamiah yang terjadi di seluruh negara industri. Tetapi, lanjut Sjafruddin, dalil itu dapat dibantah. Benar, (tenaga) manusia di mana-mana dikalahkan oleh (tenaga) mesin, tetapi di negara-negara yang sudah maju itu, modal yang mengesampingkan manusia dimiliki (pada umumnya) oleh warganegara sendiri. Dan tenaga-tenaga yang mengganggur ditempatkan di lapangan-lapangan kerja baru tanpa atau setelah mendapat pelatihan atau pendidikan kembali. Di Indonesia modal asing menggantikan modal pribumi kecil, juga di bidang-bidang usaha yang tidak (kurang) penting, seperti industri minuman, dan pemerintah kurang memperhatikan manusia-manusia yang tersingkirkan.
Ringkasnya, demikian Sjafruddin, karena pemerintah terlampau mengagungkan peranan modal (asing), maka pemerintah kurang melindungi modal dan (tenaga) manusia Indonesia dalam usaha pembangunannya. Di samping itu, karena pemerintah kurang mampu memobilisasikan tenaga dan daya kreasi rakyat Indonesia supaya benar-benar turut berpartisipasi dalam usaha pembangunan. “Seharusnya pembangunan itu merupakan kreasi bangsa Indonesia sendiri yang disesuaikan dengan keadaan alam dan lingkungan bangsa Indonesia umumnya,” tulis Sjafruddin.
Bagi Sjafruddin, mengutamakan modal sudah terang berlawanan dengan Pancasila yang mengutamakan manusia tanpa melupakan kebutuhan-kebutuhan materiilnya, yang harus dapat dinikmati oleh rakyat seluruhnya, supaya tercipta keadilan sosial.
Di mata Sjafruddin, pembangunan yang sekarang dilaksanakan tidak atau sangat kurang berakar ke dalam rakyat, karena (rakyat) tidak/kurang diajak berpartisipasi, tatapi segala sesuatu direncanakan dan kemudian dipaksakan dari atas ke bawah. Sepintas lalu hasil pembangunan itu menggembirakan dan mengagumkan. Tetapi kalau datang resesi ekonomi dunia, harga minyak jatuh, pinjaman-pinjaman lunak tidak/sukar diperoleh, kecuali pinjaman komersial dengan bunga dan kewajiban bayar kembali yang jauh lebih tinggi dan berat dari biasa, sedang modal swasta yang ada cenderung untuk meninggalkan tanah air kita dan dipermudah jalannya berhubungan dengan kebebasan lalu lintas devisa, maka terlihat dan terasalah kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam dasar dan pola pembangunan kita selama ini.
Demikianlah, beberapa pokok pikiran Sjafruddin yang jelas amat memihak kepada kepentingan rakyat. Jika dari uraian di atas tertangkap kesan Sjafruddin anti modal asing, sesungguhnya kesan serupa itu tidak tepat sama sekali. Menurut Dawam Rahardjo, Undan-undang tentang Modal Asing berlaku di masa Orde Baru, banyak sekali yang berasal dari gagasan Sjafruddin. Benar Sjafruddin memang tidak setuju kepada kredit atau hutang luar negeri, karena dianggapnya mengandung beban. Menurut Sjafruddin, lebih baik kita mengimport modal karena yang akan menanggung resikonya nanti orang asing itu sendiri.
Di manakah posisi Sjafruddin di dalam percaturan pemikiran ekonomi Indonesia? Meskipun pikiran-pikirannya banyak diambil oleh para arsitek pembangunan ekonomi Orde Baru, tetapi menurut Dawam Rahardjo posisi Sjafruddin bagaikan penumpang kapal di pinggir pantai.
Akan tetapi, apa dan bagaimanapun posisinya, Sjafruddin tetap tegar membela kepentingan rakyat. Sjafruddin bergerak menghimpun para pengusaha muslim di dalam wadah Himpunan Usahawan Muslimin Indonesia (HUSAMI). Ketika PT. Arafat yang sahamnya sebagian besar dimiliki kaum Muslim Indonesia mengalami kebangkrutan drastis karena faktor dari dalam dan luar perusahaan, Sjafruddin melalui HUSAMI menyelenggarakan perjalanan haji yang ongkos naik haji (ONH)-nya terbukti lebih murah ketimbang tarif resmi pemerintah. Sayangnya, ONH yang lebih murah dan jelas-jelas menguntungkan rakyat itu dilarang oleh pemerintah. Ketimbang menurunkan tarif dan memperbaiki pelayanan kepada umat, pemerintah lebih suka menggunakan kekuasaan untuk memonopoli perjalanan haji.
Sebuah desertasi yang ditulis oleh John Sutter menyebut Sjafruddin sebagai figur yang sangat rasional dalam memandang fungsi kapital. Di mana saja kapital sama, tidak merugikan. Yang harus dikontrol adalah orangnya, kapitalnya sendiri harus dimanfaatkan.
Bagi Sutter, Sjafruddin adalah seorang ahli moneter dan sangat ahli di bidang budget. Bagi orang Belanda, Sjafruddin terkenal sangat teliti dan berhati-hati dalam menghitung anggaran. “Sjafruddin sangat menonjolkan kepentingan negara di dalam menghitung anggaran,” ungkap Dawam Rahardjo.
Dalam zaman serba bebas sekarang ini, sungguh menarik mengkaji kembali pikiran-pikiran ekonomi Sjafruddin Prawiranegara. Ramalannya bahwa politik ekonomi Presiden Soeharto akan mengalami kegagalan jika dijalankan terlampau praktis-pragmatis, perlu direnungkan oleh semua yang berkepentingan terhadap susksesnya pembangunan menuju terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Bukan bagi segelintir rakyat Indonesia!
(Catatan kegiatan: International Seminar on Islamic Finance and Its Global Challenges, 11 Mei 2011 di UNISSULA. Dalam rangka memperingati 1 Abad Mr. Sjafruddin Prawiranegara, ditulis kembali oleh maruf, )